Ki Purbo Asmoro: Dan Wayang pun Kembali ke Istana…


foto: persinggahan.wordpress.com

NAMANYA Purbo Asmoro. Banyak penggemarnya yang mananyakan nama asli dalang wayang purwo ini. Padahal nama aslinya atau nama pemberian orang tuanya ya Purbo Asmoro itu. Ia mulai dikenal sebagai dalang sejak tahun 1990-an. Sebagai seorang dalang, ia mempunyai prinsip harus berpijak di atas semua kelompok dan golongan. Sebab pedalangan adalah media yang menyajikan nilai-nilai kemanusiaan secara universal.”Sebagai kesenian adiluhung, pedalangan tidak harus dipersepsikan dengan menengok masa lalu. Tapi justru bagaimana kita memandang adiluhung itu sesuai dengan perkembangan zaman,” ujar dalang yang juga dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini.

Sejak kecil, Purbo memang sudah akrab dengan dunia wayang. Ayahnya, Sumarno, adalah dalang kenamaan di Pacitan, kota kelahirannya. Setiap kali ayahnya pentas, Purbo kecil tak pernah melewatkan untuk ikut. Tak heran jika dalam usia kanak-kanak, ia sudah hapal tokoh dan cerita pewayangan. Pengalaman masa kecil yang terus berulang itulah yang akhirnya berperan membentuk jiwa dalangnya. Purbo semakin berminat menekuni dunia pedalangan saat belajar secara akdemis di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surakarta, lalu dilanjutkan di Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta.

Mulai tampil mendalang dimuka umum sejak usia 17 tahun, Purbo pernah menjadi Juara I pada Lomba Dalang se-Jawa Tengah, tahun 1992. Ia juga menjadi dalang unggulan pada Festival Greget Dalang 1995. Dalang yang aktif dalam kepengurusan Ganasidi (Lembaga Seni Pedalangan Indonesia) dan Yayasan Sesaji Dalang, ini sering mendalang dan memberikan workshop ke berbagai negara, antara lain Inggris, Austria, Yunani, Amerika, Bolivia Thailan, Singapura, dan Perancis. Memperingati HUT Kemerdekaan yang ke-64 Agustus lalu, Purbo Asmoro diundang khusus oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), untuk mendalang di Istana Merdeka.Tentu sebuah kesempatan yang mengesankan. Apalagi Purbo merupakan dalang pertama yang mendalang di istana, setelah 40 tahun tak ada pergelaran wayang purwo di istana kepresidenan tersebut.

KI PURBO Bagaimana ceritanya kok Anda bisa mendalang di Istana Merdeka itu?

Awalnya dari sarasehan dalang di Sidoarjo. Waktu itu, kalau tidak salah tanggal 17 Juni 2009, atas nama para dalang dari Persatuan Dalang Indonesia (Persadi), saya sekadar menanyakan ke Pak SBY melalui telekonference, kok istana tidak pernah lagi nanggap wayang. Padahal zaman Bung Karno dulu sering ada pergelaran. Banyak dalang yang mendalang di sana. Saya bicara bukan atas nama pribadi, tapi atas nama para dalang itu. Waktu itu Pak SBY menjanjikan akan kembali menghidupkan tradisi itu.

Kok yang dipilih Anda?

Wah, kalau itu saya tidak tahu. Padahal ketika pihak istana menyodorkan jadwal pentas, yaitu tanggal 8 Agustus, saya menyatakan tidak bisa, karena pada tanggal yang sama harus mendalang di tempat orang hajatan di Nganjuk. Saya sudah telanjur janji. Tidak bisa diundur atau dimajukan, karena undangan sudah menyebar. Lalu saya mengusulkan agar istana mengundang dalang lain. Tapi beberapa hari kemudian pihak istana malah mengalah, dengan memajukan jadwal mendalang menjadi tanggal 7 Agustus itu.

Mungkin karena Anda dan SBY sama-sama orang Pacitan ya, jadi terpilih untuk mendalang di istana?

Ha ha… Saya tidak tahu.

Apa karena Anda sering tampil di luar negeri?

Dalang lain juga banyak kok yang sering pentas di luar.

Bagamana rasanya bisa mendalang di istana, dan ditonton langsung oleh presiden?

Tentu saja bangga. Tapi target saya sebenarnya bukan itu. Saya berharap setelah ini akan ada dalang-dalang lain yang diundang pentas di sana. Dengan kata lain, istana benar-benar memulai kembali tradisi yang dulu pernah dilakukan Bung Karno, yaitu nanggap wayang. Sebab lucu saja rasanya, jika pemerintah selalu menyebut wayang sebagai kesenian adi luhung yang harus dipelihara dan dilestarikan, tapi kok tidak pernah nanggap wayang.

Dalam setiap mendalang, Anda sepertinya selalu sukses. Menurut Anda, pada saat seperti apa sih Anda merasa pementasan gagal?

Saya merasa gagal dalam pertunjukan jika tidak bisa menjalin komunikasi dengan penonton. Bisa jadi tingkat apresiasi penontonnya yang kurang baik, tapi bisa juga saya yang kurang jeli dalam menganalisa tingkat apresiasi, kondisi sosial dan keinginan penonton setempat. Artinya, jalinan komunikasi antara pertunjukan dan penonton itu sangat penting.

Nah kalau pentas di luar negeri bagaimana? Apa translatter bisa menyampaikan nilai-nilai itu ke bahasa Inggris, misalnya?

Saya beruntung punya penerjemah seperti Kitisie Emerson. Ia seorang pecinta gamelan dan wayang, yang mampu menerjemahkan secara langsung dialog-dialog dalang, termasuk improvisasinya. Kitsie sungguh telah berhasil membuat sebuah terobosan agar segala kesenjangan latar belakang kebudayaan, perbedaan bahasa, yang dialami oleh penonton-penonton asing ketika menyaksikan pertunjukan wayang, tidak lagi menjadi hambatan untuk memahami jalannya cerita.

Mengapa Anda tidak mendalang dengan bahasa Inggris saja?

Jangan salah. Semua penonton dari luar negeri itu justru menginginkan pementasan wayang dalam bahasa aslinya. Dalang yang mencoba membawakan pementasan dalam bahasa Inggris biasanya malah sulit dimengerti, karena kendala lafal pengucapan dan penggunaan bahasa yang terlalu simpel dan tidak puitis. Akibatnya pementasan menjadi kaku dan kurang spontan, karena mereka harus mengikuti teks yang sudah dipersiapkan sebelumnya agar sesuai dengan bahasa Inggris.

Selain dari ayah dan sekolah formal, Anda belajar dalang dari mana?

Saya banyak menonton pertunjukan wayang, siapa pun dalangnya. Saya bahkan sering mencatat dialog, menirukan gaya sabetan, sastra, dan dramatisasinya. dari pengalaman itu, saya mengolah sendiri hingga akhirnya menemukan gaya mendalang sendiri.

Anda juga dikenal pintar menirukan suara dalang lain. Kok bisa?

Lha iya itu tadi, karena suka menonton orang lain mendalang. Setelah menonton, di rumah saya sering menirukan bagaimana cara dalang A suluk, bagaimana dalang B nembang. Lama-lama kok malah mirip ha ha..

Tahun 2003 lalu UNESCO mengakui wayang secara internasional sebagai salah satu bentuk kesenian yang sebagai warisan budaya dunia. Pendapat Anda?

Memang harus begitu. Itu salah satu bentuk penghargaan dunia terhadap kesenian bangsa kita. Dengan sering pentas di luar negeri itulah, saya mencoba menumbuhkan apresiasi dan penghormatan masyarakat dunia terhadap seni pewayangan.

Menurut Anda bagaimana apresiasi masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, terhadap pementasan wayang kulit?

Mereka cukup apresiatif. Banyak juga anak muda yang senang wayang. Kendala mereka biasanya ya soal bahasa itu. Agaknya pemerintah perlu mengembalikan pelajaran bahasa lokal ke dalam kurikulum wajib. Sebab bukan hanya wayang, banyak ajaran-ajaran lokal, dalam hal ini Jawa, yang bagus untuk membentuk pribadi bangsa. Ada serat Wedatama, Wulangreh, Kalatida, dan lainnya yang penuh dengan petuah dan ajaran moral. Sayang jika anak muda tidak bisa menangkap isinya hanya karena kendala bahasa. Untuk wayang, penghalangnya adalah sedikitnya orang yang memahami bahasa Jawa dan Kawi. Tapi saya tidak menyalahkan mereka Pemerintah harus tanggap.

Sebenarnya apa sih yang membuat orang asing tertarik dengan pementasan wayang itu?

Banyak hal. Tapi umumnya mereka suka wayang sebagai satu kesatuan. Mulai musik gamelannya, kekuatan cerita, banyolannya, dan sabetannya, atau cara memainkan wayang. Selama ini mereka kan hanya mengenal pertunjukan puppet (boneka) yang kesannya kaku. Menurut yang saya dengar, mereka menyukai wayang karena ada unsur ritualnya. Ada kekuatan magis. Wayang menjadi bukan sekadar pertunjukan boneka, tapi menjadi pertunjukan yang hidup dan menghibur.

Anda selama ini dikenalsebagai dalang modern yang paling inovatif, terutama dalam soal garapan…

Wah, itu terlalu berlebihan. Memang konsep mendalang saya itu klasik inovatif. Saya menginginkan pertunjukan tetap menarik, tapi tetap klasik. Artinya, unsur garapan bisa saya kembangkan sesuai dengan kebutuhan, tertama apertimbangan nilai-nilai moral dan pendidikan.

Tren pementasan wayang kulit saat ini adalah ekstrem avant-garde ke tableaux dari cahaya secara eksklusif hiburan. Tidak ingin mencoba?

Biarlah tu menjadi pilihan dalang lain. Saya lebih patuh pada wayang sebagai filsafat, sastra lisan, dan makanan untuk berpikir, yang bisa disajikan dalam gaya dramatis dan menghibur. Saya memilih jalur tradisi klasik yang inovatif

Anda satu-satunya dalang yang mempunyai gelar master…

Itu bukan hal yang luar biasa sebenarnya. Sebab selain berprofesi sebagai dalang, saya juga dosen. Jadi wajar jika saya sekolah. Itu tuntutan prosesi sebagai pengajar. Semua kalau mau juga bisa. Jadi bukan hal yang istimewa.

Nilai-nilai apa yang ingin Anda sampaikan dalam mendalang?

Kemanusiaan dan moral. Saya sangat suka itu. Sebab wayang itu sebenarnya media pembelajaran tentang hidup. Orang harus manusiawi, bermoral.

Tidak ingin terjun ke politik? Penggemar Anda kan banyak…

Tidak tertarik. Saya itu kan harus bisa di mana saja, tapi tidak harus berafiliasi dengan partai politik. Tapi sebagai dalang ya harus mengerti politik.

Harapan Anda terhadap wayang itu apa? .

Harapan saya, semoga tradisi wayang ini tetap berlanjut. Tidak mati. Wayang adalah satu-satunya bagian dari budaya Jawa yang telah bertahan melalui Orde Lama, Orde Baru, hingga sekarang ini. Wayang akan menembus globalisasi.(Ganug Nugroho Adi)

Leave a comment