Asthabrata

Berasal dari kata Asto atau Hasto yang artinya delapan, kemudian Baroto yang artinya laku atau perbuatan. Jadi ASTHA BRATA atau Hasto Broto berati delapan laku atau delapan perbuatan. ASTHA BRATA terdapat dalam Sarga XXIV dari wejangan Ramayana kepada Gunawan Wibisono, juga Sri Kresna kepada Arjuna. Diterangkan bahwa seseorang yang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin atau raja adalah dalam jiwanya terdapat delapan macam sifat kedewasaan atau delapan macam watak-watak delapan dewa. Kewajiban seorang pemimpin harus selalu mencerminkan sifat dan sikap:

1. Dewa Surya atau Watak Matahari
Menghisap air dengan sifat panas secara perlahan serta memberi sarana hidup. Pemimpin harus selalu mencerminkan sifat dan sikap semangat kehidupan dan energi untuk mencapai tujuan dengan didasari pikiran yang matang dan teliti serta pertimbangan baik buruknya juga kesabaran dan kehati-hatian.
More

Babad Nitik

Naskah asli Babad Nitik tersimpan di Perpustakaan (Widyabudaya) keraton Yogyakarta. Babad ini ditulis di atas kertas berukuran folio, dengan tinda hitam, berhuruf Jawa dengan bahasa Jawa Bercampur Kawi, digubah dalam bentuk tembang macapat. Penulisnya tidak diketahui, tetapi diterangkan bahwa ditulis atas perintah Sultan Hamengku Buwono VII. Waktu penulisannya disebutkan dengan Sengkalan “Resi nembah ngesthi tunggal” (1867 Jw/1936 M).

Babad Nitik (Sultan Agung) yang seluruhnya terdiri dari tiga puluh lima pupuh tembang itu berisikan pengalaman Sultan Agung sejak masih menjadi putera mahkota, pelantikannya sebagai Sultan dan masa pemerintahannya yang berpusat di keraton Kerto. Diceritakan bahwa sewaktu masih menjadi putera mahkota, beliau mengadakan perjalanan ke seluruh Jawa, Asia Tenggara, Timur Tengah, bahkan ke dasar laut dan alam kedewataan. Semua perjalanan itu dilaksanakan secara gaib.
More

Serat Salokatama

Naskah Serat Salokatama dikarang oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ariya Mangku Nagara IV pada 1799 Jawa atau 1870 M. Serat Salokatama dikarang dalam bentuk tembang mijil, seluruhnya ada 31 “pada” (bait), sudah pernah diterbitkan oleh Nurhipkolep Jakarta 1953 dengan huruf Jawa.

Saloka berarti perumpamaan atau ceritera sedang tama berarti utama atau baik. Salokatama berarti perumpamaan atau ceritera yang utama atau yang baik. Ini terungkap pada bait terakhir dari tembang tersebut yang berbunyi: Itij panawunging ruwiyadi yang artinya: telah selesai uraian ceritera yang baik.
More

Serat Darmo Wasito

Nenek moyang kita banyak memberikan ajaran-ajaran luhur yang tidak hanya diwariskan dalam tradisi lisan seperti ungkapan dan dongeng, tetapi ada pula yang dituangkan dalam karya tulis berbentuk “tembang macapat”. Ajaran-ajaran luhur tersebut pada zamannya banyak dikaji, dihayati dan diamalkan sebagai pedoman hidup. Salah satu dari karya tulis yang dituangkan dalam bentuk tembang macapat adalah Serat Darmo Wasito yang dikarang pada tahun 1878 M oleh KGPAA Mangku Negara IV. Serat Darmo Wasito terdiri dari: 12 pada (bait) Dhandhanggula, 10 pada Kinanthi, dan 20 pada Mijil. Sebagai catatan, serat ini pernah diterbitkan dalam huruf Jawa oleh Nurhopkelop Jakarta pada tahun 1953.
More

Serat Makutha Raja

Para cendekiawan pada zaman dahulu menyadari bahwa seorang pemimpin, mulai dari tataran yang terendah sampai yang tertinggi, harus memiliki kemampuan memimpin yang baik. Di antara para cendekiawan pada waktu itu yang memperhatikan masalah kepemimpinan ini ialah Pangeran Buminata dari Keraton Yogyakarta. Ia berhasil membuat kitab yang diberi judul Makutha Raja, untuk memberi tuntunan kepada para pemimpin, terutama raja agar dapat menjadi pemimpin yang baik dan disenangi oleh rakyatnya.

Isi Serat
Secara ringkas Serat Makutha Raja berisi tentang bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin/raja. Dalam serat ini seseorang yang sedang memegang kendali kepemimpinan diibaratkan sebagai orang yang sedang mengendalikan kuda. Kuda, walaupun hanya seekor binatang, ternyata harus didekati dengan cara-cara tertentu agar dapat dengan mudah dinaiki dan dikendalikan.
More

Serat Chentini

Ing ngandhap punika ka-aturaken tetedhakan purwakanipun Serat Centhini, sinawung ing sekar Sinom

1. Sri Narpatmaja Sudibya, talatahingnusma Jawi, Surakarta Hadiningrat, hagnya ring kang wadu Carik,
Sutrasna kang kinanthi, mangunreh cariteng dangu, sanggyaning kawruh Jawa, hingimpun tumrap
kakawin, mrih tan kemba karya dhangan kang miyarsa.
More

Kitab Pararaton : Kitab Para Datu / Kisah Ken Angrok

Tuhan, Pencipta, Pelindung dan Pengakhir Alam,
Semoga tak ada halangan,
Sudjudku sesempurna sempurnanya.

I. Demikian inilah kisah Ken Angrok. Asal mulanja, ia didjadikan manusia: Adalah seorang anak janda di Jiput, bertingkah laku tak baik, memutus – mutus tali kekang kesusilaan, menjadi gangguan Hyang yang bersifat gaib; pergilah ia dari Jiput, mengungsi ke daerah Bulalak.
Nama yang dipertuan di Bulalak itu: Mpu Tapawangkeng, ia sedang membuat pintu gerbang asramanya, dimintai seekor kambing merah jantan oleh roh pintu. More

Salahsatunggaling Falsafah Kuno Hanacaraka

Pustaka Wedha Sasangka Kababar Dening : Kanjeng Gusti Bendara Raden Adjeng Dhenok Surjaningsih (Ngeksiganda Nagri 1643) Rinukti Saha Rinumpaka Dening : Sesanggawirja Sengkalaning Tjandra Sapta Rasa Malebeng Pertiwi Utawi Wiwaraning Tjepuri Hesthining Djagad (Tahun Masehi 1967 utawi Tahun Saka 1988) Wedha Ageng Surasa.
More

Kekawin Sutasoma

Karya Empu Tantular Ah naranya: vijil nin bdyu sanke sarlra, ah sabdanya, muksa rik sarlra, candrarüpa ikan sarlra ri muksa nin bdyu rin sarlra, saumyalilan ahënin ikan sarlra vëkasan, sdnta-candra naran ikd, sdnta-smrti naran vaneh. Ri hana nin smrti-sürya sdnta-candra dadi tak advaya-jndna. Patëmu nin advaya mvan advaya-jndna, ya tandadyakën Divarüpa, (b 42) avd sadd-kdla, ahënin nir-dvarana kadi te ja nin manik, apadan rahina sadd, sugandha tan gavai-gavai, surüpa tan gavai-gavai; surasa tan gavai-gavai sira katon denta. Ikan am ah yatikd sinangah sak hyan advaya naran ira, bapa sira de bhatdra hyan Buddha. Ikan jndna vruh tan vikalpa humidëk nir-dkdra, yatika sinangah san hyan advaya-jndna naran ira. San hyan advayajndna sira ta devï bhardlï Prajndpdramitd naran ira, sira ta ibu de bhatdra hyan Buddha. San hyan Divarüpa sira ta bhatdra hyan Buddha naran ira. More

Babad Caringan

Sebelas Sarasilah dan Babad Caringin

Dengan rakhmat Tuhan Yang Maha Esa dan Atas nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang Semoga para leluhur memperoleh keselamatan dan anugerah dan semoga kami pantas untuk mengemban segala warisannya

Sarasilah Caringin

Ini adalah trah dan sarasilah para leluhur di kawasan Caringin yang sejarahnya telah mewarnai corak kehidupan di tempat ini dan kehadirannya dirasakan melalui pengucapan nama penuh hormat serta diketahui melalui segala petilasan peninggalan mereka Berbagai tokoh dan nama keturunan telah hadir di Caringin baik ulama maupun prajurit, orang saleh maupun jawara dari trah Kalijaga dan Ngampel Denta, juga dari darah agung Siliwangi dan tidak ketinggalan pula para pahlawan perkasa dari Mataram disertai dengan banyak para tokoh dari wetan lainnya Mereka semua telah meninggalkan jejaknya di Bumi Caringin yaitu jejak dan tapak yang pantas dipelihara dan diikuti Demikianlah kini akan diuraikan secara rapi berurutan para nenek moyang yang dahulu telah membuat sejarah di kecamatan ini.
More

Ajaran Ranggawarsita

Pembukaan :

Amenangi jaman edan

ewuh aya ing pambudi

Melu edan nora tahan

yen tan melu anglakoni

boya kaduman melik

Kaliren wekasanipun

Dilalah karsa Allah

Begja-begjane kang lali

luwih begja kang eling lawan waspada”

(pupuh 7, Sent Kalatidha)
More

Ajaran Sri Rama

Berdasarkan “Serat Rama” atau Ramayana Kakawin, yang disadur oleh pujangga Yasadipura I dan diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Kamajaya.

BARATA BERTAKHTA SEBAGAI
RAJA AYODYANEGARA
MELAKSANAKAN AMANAT DAN
AJARAN SANG BIJAKSANA RAMAWIJAYA
More

Aji Pamasa

Wedharing wyata mirid gempilaning piwucal

Aji Pamasa

DHANDHANGGULA

1. Mangkya nenggih sastradu nayadhi, tinilingna walering darana, ywa sisip ing pangertiné, janma kudu mituhu, pratélané sapta pracèki, lamun dipun upaya kinemat ing kalbu, samubarang kang linakya, sarwi mapan nora badhé damel tuni, suka tentreming rahsa.

2. Kang ginelar wyataning suyati, tlatènana kang pitung prakara, amrih dadi lantarané, datan gampil kinelun kalulun ing wawatak nisthip, linepat king deksura tinebih panyaru, tan damel pilalaning lyan, kosok-wangsul wèh ayem dasih sadyèki, temah manggih raharja.
More

Aji Pameleng

Tegesipun aji = ratu, pameleng = pasamaden; mengku pikajeng : tandaning sedya ingkang luhur piyambak. Dene empaning pandamelan wau winastan manekung, pujabrata, mesu budi, mesu cipta, ngeningaken utawi angluhuraken paningal, matiraga lan sasaminipun.

Papan ingkang kangge nindakaken wau panepen, panekungan, pamujan, pamurcitan, pamursitan, pahoman, paheningan lan sanes-sanesipun. Dene wedharing kawruh winastan daiwan, dawan, tirtaamerta, tirtakamandhanu, tirtanirwala, mahosadi, kawasanan, kawaspadan, kawicaksanaan, sastracetha, utawi sastrajendrayuningr at pangruwating diyu lan sapanunggalanipun.
More

Ajisaka

Sebuah Perenungan tentang Sosok Ajisaka

Karena kehendak Allah jugalah terjadinya manusia, hewan, pepohonan, kutu walang ataga, yang kesemuanya itu terjadi serta hidup dan dapat dilihat secara nyata wujudnya (ana rupa-wujude). Atas kehendak Allah tersebut yang luluh pada diri manusia, menyebabkan manusia memiliki keluhuran, keimanan, bawa laksana,
welas asih, keadilan, ketulusan, eling lan waspada. Kesemuanya itu memberikan manusia kemuliaan (kamulyan) dan kesejahteraan (karahayon). Rasa tersebut juga menghubungkan kehidupan manusia dengan Allah Sang Maha Pencipta. More

Babad Alas Nangka Dhoyong

Babad Crita Lesan

Dumadine Kutha ‘Wonosari’

Wiwitaning carita ing wewengkon Sumingkar (saikine wilayah Sambi Pitu, Gunungkidul). Sumingkar iki miturut gotheking crita iki minangka Kutha Praja Kabupaten Gunungkidul wektu iku; rikala Sultan Hamengkubuwana I madeg ratu ing Kraton Ngayogyakarta. Sumingkar cedhak karo tembung ‘sumingkir’. Mirid saka kahanan lan sejarahe masyarakat sakiwatengen Sambi Pitu, wong-wong ing wewengkon iki minangka playon saka Majapahit, wong-wong kang ‘sumingkir’ ing alas Gunungkidul biyene. Crita lesane wong-wong kana nerangake manawa Brawijaya pungkasan keplayu tekan alas Gunungkidul, ngulandara ing sawetara papan lan mbukaki alas-alas dumadi desa-desa sarta ninggalake maneka kabudayan. Brawijaya pungkasan moksa ing Guwa Bribin, Semanu, jalaran rikala disuwun malik ngrasuk Islam dening Sunan Kalijaga ora kersa. Kaya dene masyarakat kang sumebar manggon luwih dhisik ing Rongkop, Semanu, Karangmojo, Ngawen, Nglipar, Sambi Pitu, saperangan Pathuk, uga Panggang, wong-wong iki wis dumunung ing sajembaring alas Gunungkidul sadurunge kedaden Palihan Nagari (Prajanjen Giyanti) ing Surakarta. Kabukti kanthi ananing maneka warna kabudayan kang gregete nuduhake semangat Jawa Asli-Hindhu-Buda-praIslam, kaya ta: tledhek, rasulan, cing nggoling, babad alas, reyog, petilasan Hindhu, petilasan Buda, lsp. kang tansah diuri-uri tekane saiki. Crita iki uga minangka bukti stereotip ‘babad’ kaya kang dumadi ing desantaraning pulo Jawa lumrahe; kepara ing nusa-antara. More

Babad Cirebon (1/3)

DANDANGGULA

Pan Sinegeg wau hingkang banting diri
ingkang kocap ingkang para Oliya
woes prapta hing Goenoeng Cerme
sampun musti hing pangestu
tanpaliyan dinungnung kapti
anging Allah tangala
tarkinning pandulor
Sultan Demak dadya ika
peteng ribet hing wengi kaliwat dening
tingkah anjandung mratuwa.
More

Babad Cirebon (2/3)

DANDANGGULA

Warnanen inkang winuri-wuri
Jeng Suhunan Jati ingkang tadak
ingkang mrena aneng Cerbon
sinerat saking luhur
martabate agung kang Wali
ya Syeh Wali Akbar
sinebet Sinuhun
duk gagarwa jajaka lara
Nyi Mas Babadan gabug boka mutrani
takdir Allah tanggala.
More

Babad Cirebon (3/3)

A S M A R A DA N A

Warnanen wong Pakungwati
Panembahan Girilaya
naban tahun sesebane
hing ngarsa Sunan Mataram
naban mangkati ngetan
wulan sapar layen rawuh
tanggal ping nem Rabiulawal.
More

Angratoni Alam Karahayon

“If you don’t care for the roots of the plant, you cannot expect the flower to blossom beautifully”. Rerangken sesotya ingkang rineka dening Thomas Dinan, priyantun Amerika ingkang kasengsem dhateng budaya Jawi, punika wau nyandhi wewangening kandha bilih manawi kita sampun boten kersa ngupakara oyotipun, mokal kita badhe saged nyawang asrining sekar ingkang anjrah mekar ngrembaka. Manawi oyot ingkang tinandur punika namung badhe dipun lebur, dipun rerabuk namung badhe dipun remuk, dipun rumpaka namung badhe dipun prawasa, punapa budaya Jawi minangka oyotipun tiyang Jawi punika lajeng kedah siningid ing weca kalanggengan? Saeba cuwa lan kuciwa manah punika manawi tiyang Jawi ngantos kicalan kiblating pangluru, tundhonipun namung nyancang ewoning pangangen-angen ingkang tumlawung tumangsang ing korining mendhung ngenguwung. Bakal lungkrah sakabehing rasa sumarah yen jiwa Jawi klakon nganti bubrah. More

Previous Older Entries