Yudistira Merad

Yudistira Merad adalah lakon carangan, wayang Golek Cepak Cirebon. Lakon ini mengisahkan Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi, raja Pajajaran, yang pergi meninggalkan istana untuk mencari sumber agama Islam.

Tatkala bertemu dengan Sang Hyang Bango, disuruhnya pergi ke Gunung Amaparan Jati. Setiba di Gunung Amaparan Jati, bertemu dengan Syarif Durachman sedang bertapa untuk mencari sumber agama Islam pula. Dilihatnya sang Petapa itu, sambil bertapa terus menerus menjatuhkan seratus butir kemiri ke dalam laut. Dilihatnya pula, beberapa waktu kemudian Nabi Hidir muncul dari laut menemui Syarif Durachman, yang juga dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Setelah memperoleh petunjuk dari Nabi Hidir, Walangsungsang bersama Sunan Gunung Jati pergi menuju Gunung Dieng.

Di Gunung Dieng, mereka melihat orang yang sedang bertapa. Tubuh sang Pertapa terteliti oleh akar belukar dan sebagian tubuhnya telah tertimbun oleh dedaunan. Jelas, orang itu telah bertapa selama bertahun-tahun.
Walangsungsang dan Sunan Gunungjati segera membersihkan dedaunan tersebut, serta membongkar akar belukar yang meliliti tubuh pertapa itu. Setelah bersih, mereka menyaksikan bahwa di kepala sang Pertapa itu ada sebuah ajimat. Sunan Gunungjati lalu mengambil azimat itu.

Sang Pertapa segera bangun, setelah azimat itu dilepaskan dari kepalanya, lalu berkata, bahwa ia adalah Kontea atau Yudistira yang telah lama ingun pergi ke alam kahyangan. Selanjutnya Yudistira memohon kepada Sunan Gunungjati agar membuka dan membaca ajimatnya yang selamanya ia gunakan.
Sunan Gunungjati lalu mengajak Yudistira dan Walangsungsang ke tengah laut. Di sana, azimat yang bernama Jamus Layang Kalimusada itu dibuka dan dibaca oleh Sunan Gunungjati. Ternyata isi azimat itu adalah Dua Kalimat Syahadat; yang merupakan sumber agama Islam yang mereka cari.

Yudistira lalu berkata, bahwa sudah sejak lama ia berniat akan menyerahkan azimat itu kepada orang yang sanggup membuka dan membacanya. Dengan demikian, maka Jamus Layang Kalimusada menjadi milik Sunan Gunungjati, yang nama aslinya Syarif Hidayatullah. Tidak lama kemudian Yudistira meninggal dunia dengan tenang.

Lakon Yudistira Merad ini pernah dipergelarkan di Gedung Sunan Ambu Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung pada bulan November 1997, dengan Dalang Ki Martadinata, dan pesindennya Hj. Sami’i.

Mustika Merah Delima

Negara purwa Madhendha sedang dilanda musibah besar, berupa bencana alam dan krisis ekonomi. Hal ini disebabkan karena hilangnya pusaka kerajaan yang bermana Mustika Merah Delima dari gedong pusaka. Berdasarkan keterangan seorang pujangga yang bernama Resi Jaya Pangira, bahwa pusaka tersebut dicuri seorang penjaga sekaligus pencuci pusaka keraton yang bernama Lupit Mangun Brata. Lupit adalah Lurah dukuh Sembung, sebuah desa yang berada di wilayah Kerajaan Purwa Madhendha.

Terjadi penggeledahan oleh prajurit Purwa Madhendha, yang diakhiri dengan peperangan antara prajurit kerajaan dan rakyat dukuh Sembung. Melihat kesalah pahaman tersebut, seorang guru besar kerajaan yang bernama Syeh Kayun segera tampil untuk melerai. Diterangkan bahwa Baginda Sultan bukannya menuduh Lurah lupit sebagai pencuri, melainkan meminta kepadanya agar membantu mencari hilangnya Mustika Merah Delima.

Lupit Mangun Brata segera pergi mencarinya. Konon pusaka tersebut ditemukan di sebuah kerajaan jin dan dikuasai oleh raja jin bernama Tantra Werdati. Setelah Lupit berhasil melumpuhkan raja jin, kemudian dimintalah pusaka Mustika Merah Delima untuk dikembangkan ke Negara Purwa Madhendha.

Dengan kembalinya Mustika Merah Delima, maka keutuhan dan kedaulatan Negara Purwa Madhendha dapat pulih kembali.

Lakon ini merupakan cerita fiktif (cerita carangan) karya Ki Enthus Susmono, yang dipentaskan dalam rangka Dies Natalis ke 38 STSI Surakarta, 19 Juli 2002, di Pendopo STSI Ska