Seorang pengikut Sunan Kudus mendahului perjalanan menuju Desa Pengging. Di tengah jalan dia bertemu dengan seorang laki-laki dan seorang wanita. Kedua orang itu pengikut Sunan Kudus menanyakan mana desa tempat ia bertemu. Lelaki yang ditanya menjelaskan bahwa desa itu belum ada namanya. Selain itu memberi keterangan bahwa banyak penduduk yang tidak berani keluar rumah karena semalam mendengar suara harimau. Karena inilah pengikut Sunan Kudus memberi nama desa itu ” Sima”. Ia juga menjelaskan bahwa suara itu bukan suara harimau tetapi suara bendhe pusaka Kasultanan Demak yang ditabuh, suara bagaikan suara harimau mengaung-ngaung.
Setelah itu pengikut Sunan Kudus melanjutkan perjalanannya. Di suatu desa dia bertemu dengan seorang laki-laki. Kepadanya ia menanyakan arah ke desa Pengging serta nama desa yang di lewatinya itu. Ia mendapat keterangan bahwa desa itu belum ada namanya. Karena ia diberi air minum yang dapat menghilangkan dahaganya, maka desa itu diberi nama Banyudana yang artinya berderma air.
Di kadipaten Pengging Ki Ageng Pengging dihadap oleh para santrinya menerima kedatangan Nyi Ageng Tingkir. Penyerahan itu dipilih waktu bersamaan dengan upacara khataman. Pada upacara khataman tersebut diselenggarakan pertunjukan kesenian berupa tari dan wayang kulit Sadat.
Sunan Kudus datang ke Pengging saat pendadaran sedang berlangsung. Beliau mengingatkan akan janji yang pernah diucapkan oleh Ki Ageng Pengging tiga tahun yang lalu, bahwa KI Ageng akan menghadap Sultan Demak. Ternyata Ki Ageng tetap tidak mau menepati janjinya, dengan alasan bahwa Ki Ageng bukan adipati lagi, tetapi hanya rakyat biasa yang tidak perlu menghadap kepada raja. Sunan Kudus dapat menerima alasan Ki Ageng Pengging, tetapi Sultan Trenggana tidak dapat menerima alasan itu, dan beliau bermaksud ingin menghukum mati Ki Ageng Pengging lewat Sunan Kudus. Dikarenakan tuduhan yang diberikan kepada ki Ageng cukup berat yaitu: Pertama, ia dianggap ingkar janji tidak menghadap raja. Kedua,ia dituduh menyebarkan ajaran Syeh Siti Jenar.
Sunan Kudus melihat dan beranggapan bahwa apa yang dikerjakan Ki Ageng tersebut tidak menyimpang dari ajaran Islam yang baik dan benar yaitu sunnah wal jamangah, maka Sunan Kudus mengambil kebijaksanaan dengan melukai atau menggores siku tangan Ki Ageng serta melepas jubah yang telah terkena darah. Selain itu Ki Ageng disarankan untuk berganti nama dan meninggalkan daerah Pengging serta supaya mendirikan padepokan baru. Para santri mengira Ki Ageng pengging telah wafat, karena menemukan baju jubah Ki Ageng yang penuh darah.
Di padhukuhan Tingkir Mas Karebet atau Jakatingkir diasuh Ki dan Nyi Ageng Tingkir hingga dewasa. pada saat itu, Sultan Demak memerintahkan Jaka Tingkir untuk memimpin tes penerimaan prajurit baru Demak. Nyi Ageng Tingkir mengutus Kasan mengantarkannya.
Di Demak Sultan Trenggana mengadakan musyawarah bersama dengan Sunan Giri, Sunan Drajat, dan Raden Patah untuk menentukan rancangan penerimaan prajurit Demak dalam rangka menghadapi serangan musuh dari Barat. Mereka sepakat segera mengadakan tes penerimaan prajurit baru yang dipimpin oleh Jaka Tingkir. Dalam penyelenggaraan itu ada salah salah satu persyaratan yang tidak boleh dilanggar, baik oleh pengetes maupun oleh peserta tes, yaitu tidak boleh bertindak yang menyebabkan kematian.
salah seorang peserta tes ada yang sangat sakit, bernama Dhadhung Awuk. hal itu membuat jaka Tingkir kerepotan dan terpaksa menggunakan senjata sadat, sehingga menyebabkan Dhadhung Awuk meninggal dunia. Tindakan Jaka Tingkir ini tidak berkenan di hati Sultan Trenggana, sehingga beliau menjatuhkan hukuman kepada Jaka Tingkir supaya pergi meninggalkan kerajaan Demak.Di tengah perjalanan Jaka Tingkir bertemu dengan Sunan Kudus. Sunan Kudus memberitahukan kepada Jika Tingkir bahwa orang tuanya masih hidup dan menyuruh Jaka Tingkir agar mencarinya.
Di Padhukuhan Butuh Ki Ageng dan Nyi Ageng Pengging telah lama tinggal di padukuhan Butuh. Setiap saat mereka ingat kepada mas Karebet anaknya. Pada suatu hari, seorang santri memberitahukan ada seorang jejakapinsan di tengah ladang. Setelah jejaka itu dibawa ke hadapan Ki Ageng Pengging, Nyi Ageng Pengging menangis dab memastikan bahwa jejaka itu adalah Mas Karebet anaknya. Pertemuan anaknya oleh Ki Ageng Pengging dan Nyi Ageng Pengging sangat disukuri dengan mengucapkan hamdalah.
Sumber Ki Suryadi dalang wayang Sadad yang ditulis oleh I Nyoman Murtana, Titin Masturoh, tatik harpawati, dan Putut Gunawan dosen pedalangan (Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta)