Gatotkaca Winisudha

pic: willustration@deviantart.com

KALAU tak ada yang mengingatkan, dewata pun bisa alpa pada janjinya. Ya, Batara Guru yang merupakan pemimpin para dewa pernah melakukan kealpaan itu. Akibatnya, wayang-wayang muda keturunan Pandawa menggelar unjuk rasa.

Dimotori oleh Raden Gatotkaca, para putra Pandawa membuat Khayangan tandingan di Pertapaan Argakelasa. Mereka pun memakai gelar layaknya dewa, menjadi Batara Gatotkaca, Batara Antasena, Batara Pancawala, Batara Abimanyu, Batara Irawan, Batara Sumitra, dan Batara Wisanggeni.

Ada apa gerangan sehingga aksi unjuk rasa dilakukan? Gatotkaca bersama para saudaranya hendak mengingatkan Batara Guru untuk mewisuda sang Satria Pringgodani menjadi raja di Khayangan seperti yang telah dijanjikan. Tentu saja, aksi Gatotkaca membuat Khayangan geger. Para dewa meminta agar Batara Guru mengizinkan mereka menyerbu Pertapaan Argakelasa.

”Gatotkaca telah merong kampuh (memberontak), hendak njongkeng kawibawan (merongrong kewibawaan Pukulun),” adu Batari Durga.

Mendengar laporan itu, Batara Guru murka. Pertimbangan jernih yang diberikan Batara Narada tak dihiraukannya. Bahwa, protes Gatotkaca dan kawan-kawan semata-mata karena kesalahan Batara Guru yang tidak memenuhi janji. ”Dewata mana bisa salah? Sekarang juga hancurkan Kahyangan Argakelasa. Enyahkan Gatotkaca!” katanya.

Singkat cerita, para dewa menyerbu Argakelasa. Tapi, oleh kesaktian para putra Pandawa-terutama Raden Wisanggeni-pasukan para dewa takluk. Kemudian, Batara Guru disadarkan oleh Sang Hyang Wenang yang menjelma pada diri Wisanggeni.

Gatotkaca kemudian winisudha menjadi ksatria utama dan diangkat menjadi anak Batara Guru dengan tambahan gelar Raden Guru Handoyo.

”Dalam persoalan ini, tak ada satu pihak pun yang salah. Semua sesuai suratan takdir. Justru, lakon ini bisa menjadi kaca benggala bagi setiap manusia untuk bisa melakukan tugas kehidupannya masing-masing,” sabda Sang Hyang Wenang