Menafsir Ulang Kisah Calonarang

Seperti keping mata uang, kebaikan akan selalu berdampingan dengan kejahatan.

Epik Calonarang kembali dipentaskan lewat perpaduan tarian bedhaya dan legong Bali. Hasilnya, tak hanya sebuah sendratari yang indah dan megah, tapi juga tafsir baru atas kisah yang legendaris itu.
Rombongan dari Daha yang dipimpin Bahula itu muncul dari kursi penonton. Mereka melintasi lorong dengan menghamburkan semerbak melati menuju panggung dimana Calonarang Walunateng (janda) Dirah itu menyambut angkuh dan penuh curiga. Tapi kali ini orang-orang Daha itu tak tak berniat perang. Sebaliknya, mereka justru ingin mengikat saudara, Bahula murid Barada itu melamar Ratna Manggali putrid semata wayang Calonarang.

“Mohon berikanlah berjuta maaf, kami bermaksud melamar Ratna Manggali” lembut Bahula bersenandung dalam kromo inggil mencairkan kemarahan Calonarang. Luluh janda dari Dirah itu membayangkan anaknya bahagia bersanding di pelaminan. Calonarang berpikir tulus dan berharap perkawinan anaknya dengan Bahula sekaligus mengubur perseteruan abadi Dirah dan orang-orang Daha yang membencinya. Dan Dirah berpesta merayakan perdamaian itu.

Sayang, orang-orang Daha hanya bermuslihat dengan perkawinan itu. Dengan mengatas namakaan setya tuhu mring guru laki –kesetiaan pada suami- Bahula meminta Ratna Manggali untuk mencuri rahasia kitab kesaktian ibunya. Atas nama cinta, walau ragu Ratna Manggali tak kuasa menolak kemauan suaminya.

Mendapat apa yang diinginkan, Bahula kabur dari Dirah meninggalkan Ratna Manggali.Calonarang pun murka. Maksud baiknya ditelikung orang-orang Daha. Kesumatnya membara lagi. Dengan memboyong orang-orang dari Dirah, dia menyerbu kerajaan Airlangga itu.
Penggalan kisah itu adalah cerita tentang Calonarang yang selalu digambarkan sebagai penyihir jahat yang mengganggu kuasa bijak sang Airlangga.Oleh Padneçwara kali ini kisah itu dibawakan dalam bentuk drama tari berjudul The Amazing Bedhaya-Legong Calonarang, Rabu (17/11) di Gedung Kesenian Jakarta. Diciptakan oleh para maestro tari klasik Retno Maruti dan Bulantrisna Djelantik, dramatari ini pertama kali tampil tahun 2006 di Graha Bhakti Taman Ismail Marzuki, Calonarang juga sempat berkelana ke Singapura dan kemudian tampil dalam Pesta Kesenian Bali XXXI bulan Juli silam.

Barangkali tak perlu lagi diungkap kelembutan dan keindahan gerak para penari dalam lakon ini, karena Retno Maruti dan Djelantik tak diragukan lagi kepakarannya. Retno mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk menari bedhaya, begitu pun dengan Djelantik, walau berprofesi sebagai dokter THT, namun amat mencintai tari legong. Dia lah seniman tari legong kraton Bali yang kerap melanglang buana di pentas internasional.
Kembali ke inti cerita, ide untuk mencuri kitab Calonarang itu sebenarnya datang dari Airlangga. Tak berani menghadapi langsung Calonarang, sang raja itu mengutus Barada yang kemudian mengirim muridnya, Bahula untuk mencari tahu kelemahan Calonarang. Dia kemudian mengawini Ratna Manggali dan berhasil mencuri kitab sakti milik Calonarang. Tanpa bantuan Durga sesembahannya, dalam pertarungannya dengan Barada, Calonarang akhirnya bisa dikalahkan. Dan Daha kembali tenteram.

Tetap Hidup

Oleh Padneçwara, kisah Calonarang itu dipertemukan dalam bedhaya Jawa dan legong Bali. Orang-orang Daha, seperti Airlangga, Barada, Bahula yang “dianggap” mewakili sisi putih, si baik dan penguasa –tentu sekaligus sebagai penulis sejarahnya- bergerak dalam bedaya yang halus, lembut, indah dan ritual itu. Sementara janda “pengacau” dari Dirah, si hitam, tukang sihir dan pembangkang itu dengan gerak Legong yang dinamis luwes dan lentur dalam mengikuti aksentuasi gamelan yang mengiringi.
Cerdas, bahkan Calonarang-pun kemudian gagal “membaca” maksud Bahula yang dibungkus gerak halus ala kratonan itu. Calonarang memasukan musuhnya dalam selimut atas nama cinta anaknya. “Seperti keping mata uang, kebaikan akan selalu berdampingan dengan kejahatan,” jelas Retno Maruti ditemui usai pementasan.
Retno menambahkan, selama ini orang memang menganggap Calonarang itu jahat. Tapi menurutnya, The Amazing Bedhaya-Legong Calonarang tidak sedang bercerita tentang anggapan itu. Retno mencoba mendekati kisah Calonarang, dari sisi yang berbeda.
“Kita tidak memojokan Calonarang sebagai pihak yang salah, kita mengungkapkan dari sisi sebab-akibat mengapa dia begitu. Mungkin dia punya kesaktian, kekecewaan lalu merasa diikucilkan membuat rasa sakit hati dan dendam itu kemudian muncul,” ujar Retno panjang lebar.
Seperti halnya Romo Mangunwidjaya yang pernah menafsir ulang cerita Roro Mendut atau Pramoedya Anantatoer dengan Arok-Dedes-nya, apa yang dilakukan Retno Maruti sah-sah saja. Dia melihat Calonarang merupakan korban masyarakat patriaki yang selalu mengecilkan peran perempuan. Tafsir ulang atas cerita Calonarang juga pernah dilakukan Toeti Herati, sastrawan dan budayawan, lewat prosa liriknya beberapa tahun silam. Begitu pun dengan Pram. Sebuah karya yang baik memang seharusnya multitafsir, seperti lukisan Monalisa karya Da Vinci itu.

Maka, di akhir kisah The Amazing Bedhaya-Legong Calonarang, Barada dan Calonarang pun akhirnya bertemu dalam sebuah pertempuran yang selalu dimitoskan sebagai pertarungan abadi antara si jahat dan si baik, ilmu hitam berhaluan kiri –pangiwa- dan ilmu putih yang berhaluan kanan –panengan-. Pemenangnya?

Berbeda dengan babad-babad Jawa yang “mematikan” Calonarang, Padneçwara memilih menyisakan ruang untuk dialog. Peristiwa tak selalu hitam putih. Di panggung yang senyap itu, sosok Calonarang dan Barada berhadap-hadapan dan tetap bertarung dalam kebisuan hingga kemudian penari-penari lain itu masuk, masing-masing dengan lilin yang menerangi kegelapan. Pentas usai dan Calonarang tetap abadi.adiyanto/teguh nugroho.

http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=38416

1 Comment (+add yours?)

  1. Trackback: Calonarang | Negeri Wayang

Leave a comment