WANDA, Adalah citra (image) khas Indonesia

Gambar hitam-putih wayang tokoh Harjuna wanda kinanthi, yang memberikan kesan visual karakter ‘romantis’.


Gambar berwarna wayang tokoh Harjuna wanda kinanthi dalam bentuk rupa sudah ‘disungging’ (berwarna).

Saat dhalang hendak menampilkan adegan Harjuna yang sedang jatuh cinta, maka dikeluarkanlah wayang Harjuna yang ber-wanda ‘kinanthi’.[1] Atau, saat dhalang hendak melakonkan Prabu Bala Dewa yang sedang dalam keadaan marah, maka dipakailah wayang Bala Dewa ber-wanda ‘geger’.[2] Saat dhalang hendak menampilkan adegan ‘Perang Kembang’ dengan tokoh raksasa yang terkenal di seantero jagat karena buas, banyak gerak, dan cekatan; maka ia mengeluarkan wayang Cakil yang ber-wanda ‘kikik’.[3] Saat adegan Gathut Kaca sedang marah, maka dipakailah wayang Gatut Kaca ber-wanda ‘thathit’.[4] Sewaktu dhalang hendak menampilkan tokoh Bima Sena yang sedang mengamuk, maka dikeluarkankan wayang Bima Sena yang ber-wanda ‘guntur’.[5] Lalu, pertanyaannya ‘wanda’ itu apa?

Dalam penjelasan ringkas yang mudah-mudahan gampang dipahami, ‘wanda’ dapat dijelaskan sebagai ‘suatu gambaran atau bentuk rupa visual yang mewakili atau merefleksikan suatu suasana, emosi, atau kondisi tertentu’. Dalam bahasan yang lazim dikenal di dunia disain, ‘wanda’ dapat disetarakan dengan ‘citra’ (image). Jika seorang disainer produk hendak mendisain dan membuat suatu produk tertentu, maka lazimnya ia harus memikirkan, menganalisis, dan mengkonsepkan secara matang dan hati-hati, sejumlah aspek disain. Salah satu aspek disain yang pada masa sekarang makin lama makin penting peran dan dominasinya, adalah ‘citra disain’ (design image). Mengapa hal ini penting untuk dipahami? Tidak lain, karena peran citra yang diterapkan pada disain suatu produk akan memegang peran yang sangat dominan, sehingga bisa membuat produk (benda) tersebut disukai oleh calon pemakai atau pemakainya. Suatu citra, biasanya diterapkan pada disain suatu produk, dengan tujuan supaya produk yang dihasilkan menarik, menyenangkan, atau sesuai dengan kesan yang diinginkan pemakainya.

Dalam penerapan di bidang disain produk, seorang perencana/disainer produk bisa mengkonsepkan dan menerapkan suatu citra (image) tertentu pada rancangan produknya. Misalnya, produk-produk yang diperuntukkan bagi wanita, dirancang untuk menerapkan citra ‘lembut’, ‘feminin’, atau ‘lunak’ (soft). Sedangkan produk bagi pemakai pria yang merupakan komunitas orang kaya, terhormat, berpendidikan cukup baik, dan merupakan anggauta komunitas ‘the have’, bisa menerapkan citra ‘elegan’ atau ‘eksklusif’. Produk-produk yang dirancang untuk para pemakai yang menyukai olah-raga berpetualang, penantang maut, atau sejenisnya; bisa menerapkan produk yang bercitra ‘macho’, ‘kuat’, atau ‘kekar’. Sedangkan produk-produk yang diperuntukkan bagi mereka yang menyukai suasana santai, gembira, atau ada unsur hura-hura; bisa menerapkan citra ‘casual’. Sedangkan bagi mereka yang suka dengan olah-raga yang menyenangkan, bisa memperoleh produk yang diberi citra ‘sporty’. Anak-anak, bisa memperoleh produk baginya yang diberi citra ‘lucu’ (fun) atau ‘kekanak-kanakan’. Sedangkan bagi mereka yang menginjak remaja dan sedang jatuh cinta, bisa memperoleh produk-produk yang bercitra ‘lovely’ atau ‘romantic’. Jika dicermati, maka segera terasa, bahwa semua istilah atau kata yang dipakai untuk menyatakan suatu citra disain tertentu (seperti yang dicontohkan), umumnya merupakan kata sifat. Misalnya: lembut, feminin, lunak, elegan, eksklusif, macho, kuat, kekar, sporty, casual, lucu, kekanak-kanakan, lovely, atau romantic.

Dalam proses disain, jika perencana/disainer sudah memilih (dengan banyak pertimbangan tentunya) suatu istilah atau kata tertentu sebagai citra yang hendak diterapkan ke dalam produk rancangannya, maka ia seharusnya membuat suatu ‘peta konstelasi’ (constellation map), yang akan menggambarkan segala hal yang berhubungan dengan kata atau istilah yang dipilih itu. Proses pemetaan ini, sangat diperlukan untuk merinci dan menjabarkan semua unsur yang berhubungan dengan kata atau istilah yang akan diterapkan. Mudahnya, jika misalnya si perencana/disainer memilih istilah ‘elegan’, sebagai citra yang dipilih untuk diterapkan pada rancangannya, maka ia harus bisa menjabarkan secara rinci berbagai hal yang mewakili sifat ‘elegan’ untuk berbagai unsur yang berbeda. Misalnya, bentuk yang mewakili elegan, warna yang mewakili elegan, garis yang mewakili elegan, bidang yang mewakili elegan, tekstur yang mewakili elegan, konstruksi/struktur yang mewakili elegan, permukaan yang mewakili elegan, sistem yang mewakili elegan, ragam-hias yang mewakili elegan, komposisi yang mewakili elegan, irama yang mewakili elegan, dan semua unsur lain yang semuanya harus yang mewakili sifat elegan. Semua ini, jika sudah dijabarkan, akan menjadi suatu ‘acuan’ (pegangan, konsep) saat ia melakukan proses disain bagi produk yang akan dibuat.

Sebagai catatan, dalam kasus disain suatu produk, citra (image) tidak bisa dianalisis secara bagian per bagian (parsial). Suatu citra (image), harus dianalisis dalam satu kesatuan yang bersifat menyeluruh. Selain itu, untuk produk-produk yang dimensinya relatif kecil, maka citra disain umumnya hanya diberlakukan secara menyeluruh pada bagian luar produk tersebut. Namun, jika dimensi produknya besar, sehingga seseorang bisa masuk ke dalamnya, maka citra disain seharusnya juga diberlakukan sampai ke bagian dalam produk. Jadi, citra disain, umumnya dinyatakan dalam suatu kalimat yang juga menyatakan ‘kesan visual secara keseluruhan’ terhadap suatu produk. Misalnya, jika suatu produk ‘tas kantor’ yang berbahan kulit berkualitas tinggi, dan diberi kesan ‘elegan’; maka orang seharusnya menyatakan “secara visual tas kantor ini mempunyai citra elegan”. Dan, bukannya dinyatakan secara parsial. Misalnya, “badan tas kantor ini bercitra ‘elegan’, sedangkan sistem penguncinya berkesan ‘eksklusif’ dan handle-nya bercitra sederhana (simple)’.” Artinya, citra haruslah dinyatakan mewakili seluruh unsur/bagian dari tas kantor itu dalam satu kesatuan. Jadi, ‘kesan visual secara menyeluruh’, dapatlah dikatakan sebagai kunci untuk memahami suatu citra tertentu.

Kembali kepada bahasan tentang ‘wanda’ yang umumnya diterapkan pada bentuk rupa wayang, khususnya wayang kulit, saya berpendapat (seperti sudah dikemukakan), bahwa ‘wanda’ setara dengan ‘citra’ (image). Pemahaman ini, akan saya pakai untuk menjelaskan bagaimana pendapat saya tentang ‘wanda’ yang diterapkan pada wayang, khususnya wayang kulit, sebagai awal bahasan, dan pada bahasan lainnya.

Seseorang perencana/disainer wayang, seperti layaknya seorang perencana/disainer produk, ia juga harus menetapkan suatu konsep lebih dahulu, yang akan dipakai sebagai acuan untuk melaksanakan pekerjaan perencanaannya. Artinya, jika ‘wanda’ kita sepakati setara dengan ‘citra’ (image), maka ia juga harus bisa membuat ‘peta konstelasi’ (constellation map), yang akan menggambarkan segala hal yang berhubungan dengan ‘wanda’ yang dipilih itu. Jika misalnya ia memilih ‘wanda kinanthi’ bagi tokoh wayang Harjuna yang hendak dirancangnya, maka ia juga harus bisa membuat rincian seluruh unsur yang akan diterapkan pada wayang Harjuna itu. Misalnya: bagaimana bentuk rupa muka yang mewakili citra kinanthi, bagaimana bentuk rupa tubuh yang mewakili citra kinanthi, bagaimana bentuk rupa ragam hias yang mewakili citra kinanthi, bagaimana bentuk rupa muka yang mewakili citra kinanthi, bagaimana bentuk rupa pola ragam hias kain batik yang mewakili citra kinanthi, bagaimana warna muka yang mewakili citra kinanthi, bagaimana warna badan yang mewakili citra kinanthi, bagaimana kelengkapan pakaian yang mewakili citra kinanthi, bagaimana ‘gelung’ yang mewakili citra kinanthi, bagaimana hiasan yang mewakili citra kinanthi, bagaimana bentuk rupa pakaian yang mewakili citra kinanthi, bagaimana garis yang mewakili citra kinanthi, bagaimana tekstur yang mewakili citra kinanthi, demikian seterusnya; sampai seluruh unsur yang ada di dalam wayang Harjuna tersebut mewakili citra kinanthi. Sekali lagi saya garis bawahi, ‘sampai seluruh unsur yang ada di dalam wayang tersebut mewakili citra yang dimaksud.’ Artinya, secara keseluruhan (seluruh unsur), wayang tersebut bercitra kinanthi seperti yang dimaksud. Dalam kasus ini, citra kinanthi bukan hanya ditunjukkan oleh bagian tertentu dari wayang tersebut. Jadi, ‘wanda’ atau citra pada wayang, seharusnya diterapkan dan ditunjukkan pada seluruh bagian dari wayang tersebut.

Meskipun demikian, kenyataannya penerapan ‘wanda’ atau ‘citra’ (image) pada wayang, sebagian besar hanya berkenaan dengan beberapa hal saja, yaitu: a) Sudut muka/wajah wayang (lebih menunduk atau lebih menengadah), b) Bentuk rupa wajah wayang, c) Bentuk badan wayang, d) Sudut badan wayang (lebih tegak atau lebih condong ke arah depan), e) Warna wajah (hitam, putih, ‘prada’, biru, merah, atau warna lainnya). Sedangkan berbagai hal lainnya, umumnya dianggap ‘bisa disamakan’. Maksudnya tidak perlu ada yang diubah, meskipun ‘wanda’-nya lain. Ini merupakan pendekatan yang paling banyak diterapkan pada wayang. Sebagai contoh, penerapan ‘wanda gilut’ pada tokoh wayang Bagong, yang menampilkan karakter tokoh Bagong yang memberikan kesan nakal, lucu, suka membandel, suka menang sendiri, dan suka berbeda pendapat; dengan Bagong yang ber-wanda lain, umumnya hanya terletak pada bentuk rupa wajah semata (termasuk bentuk rupa mata, alis, dan mulut). Sedangkan bagian badan lainnya, biasanya sama sekali tidak ada perbedaan dengan Bagong yang menerapkan wanda lain.

Pertanyaan yang segera timbul, adalah ‘mengapa penerapan wanda pada wayang, umumnya hanya diterapkan pada bagian-bagian tertentu dan tidak bersifat menyeluruh, sehingga timbul kesan yang sangat kuat, bahwa wanda pada wayang menerapkan pendekatan yang bersifat parsial.’ Sejauh ini, dari satu kotak wayang yang jika dihitung jumlah wayangnya akan berkisar sekitar 300 – 400 buah, saya hanya melihat ada satu contoh penerapan wanda pada wayang yang penerapannya hampir menyeluruh (meliputi hampir seluruh unsur-unsurnya), yaitu pada wayang tokoh Harjuna yang menerapkan wanda kinanthi. Jadi, paling tidak saya mempunyai bukti bahwa wayang sebenarnya juga menggunakan pendekatan ‘penampilan visual secara menyeluruh’ untuk memperlihat suatu karakter tertentu. Namun, kenyataannya memang harus diakui saja, bahwa sebagian besar tokoh wayang, penerapan wanda-nya menerapkan pendekatan yang bersifat parsial. Hal ini, lalu menimbulkan pertanyaan yang menggelitik kita, ‘mengapa penerapan wanda atau citra pada wayang, umumnya cenderung bersifat parsial?’ Jawabnya, saat kita melihat suatu wayang ber-wanda tertentu, maka sebenarnya kita tetap melihat wayang secara menyeluruh dan bukannya melihat wayang secara parsial. Dengan kata lain, wanda pada wayang, hanya diterapkan pada bagian-bagian atau unsur-unsur pada wayang yang mewakili suatu karakter khas yang bersifat sangat dominan. Artinya, dengan perubahan sedikit saja pada unsur-unsur atau bagian-bagian yang bersifat sangat dominan ini, akan terjadi perubahan kesan visual yang bersifat sangat besar.


Gambar ‘corekan’ (sketsa) wayang tokoh Adipati Karna, yang diberi dua wanda atau citra (image) yang berbeda.

Berkenaan dengan penjelasan di atas, maka kita mendapatkan gambaran yang sangat jelas, bahwa perubahan karakter pada wayang meskipun seringkali dilakukan secara parsial, namun saat melihat tampilannya, kita sebenarnya tetap melihat tampilan visualnya secara menyeluruh. Hal ini, secara jelas diperlihatkan pada contoh dua gambar sketsa tokoh wayang Adipati Karna, hasil karya Mas Mawan Sugiyanto.

Gambar sketsa kiri, tokoh wayang Adipati Karna yang ditampilkan, secara visual menghasilkan kesan atau watak/karakter jauh lebih sombong (tinggi hati), jauh lebih temperamental (lebih cepat marah), lebih mudah tersinggung, tidak mau mengalah, dan lebih memandang rendah lawan. Seluruh kesan visual ini, ditampilkan hanya dengan mengubah sudut muka/wajah menjadi sedikit ‘lebih mendongak’ (menjadi lebih ‘lanyap’). Untuk memperkuat kesan visual yang dihasilkan, maka sudut bidang bahu, dibuat sedikit lebih naik atau lebih miring (bidang bahu bagian depan agak lebih tinggi).

Gambar sketsa kanan, tokoh wayang Adipati Karna yang ditampilkan, secara visual menghasilkan kesan atau watak/karakter jauh lebih ‘luruh’ (rendah hati), jauh lebih sabar (tidak cepat marah), lebih tidak mudah tersinggung, lebih mudah mengalah, dan lebih menghormati lawan. Seluruh kesan visual ini, ditampilkan hanya dengan mengubah sudut muka/wajah menjadi sedikit ‘lebih menunduk’ (menjadi lebih ‘luruh’). Untuk memperkuat kesan visual yang dihasilkan, maka sudut bidang bahu, dibuat sedikit lebih turun atau lebih datar (bidang bahu bagian depan tidak terlampau tinggi).

Jika dicermati, maka segera tampak bahwa kedua watak/karakter yang sangat berbeda itu, dihasilkan hanya dengan membuat perbedaan sudut wajah/muka dan sudut bidang bahu. Yakni, pada gambar sketsa kiri sudut wajah/muka lebih mendongak dan sudut bidang bahu lebih miring, sedangkan pada gambar sketsa kanan sudut wajah/muka lebih menunduk dan sudut bidang bahu lebih datar. Hanya itulah perbedaan yang terlihat sangat dominan. Pada kedua gambar sketsa wayang tersebut, jika nantinya sudah selesai di-tatah (dibentuk dengan cara dipahat) dan sudah selesai di-sungging, (diberi warna dan arsir), dan misalnya pembuatnya menerapkan seluruh unsur lainnya, kecuali unsur sudut wajah/muka dan sudut bidang bahu, dengan pendekatan dan penerapan yang benar-benar sama. Maka yang dihasilkan oleh kedua wayang tersebut adalah dua kesan visual (watak, karakter) yang sangat berbeda.

Catatan lain yang perlu juga diperhatikan, adalah suatu wayang tokoh tertentu yang menerapkan suatu ‘citra’ (image) atau ‘wanda’ tertentu, saat dimainkan di permukaan layar (geber, kelir), olah geraknya juga sangat memperngaruhi kesan visual yang akan diperoleh oleh penontonnya. Misalnya, bagaimana sang dhalang memposisikan lengan tangan, cara menggerakkan wayang, dan/atau menggerakkan anggauta tubuh wayang tersebut. Dalam kasus ini, olah gerak wayang dengan ‘wanda’ tertentu, semestinya juga harus disesuaikan dengan citra (image) wayang tersebut. Sebagai contoh, wayang tokoh Harjuna ber-wanda kinanthi, tentu saja tidak akan sesuai, jika saat dimainkan dipermukaan layar (geber, kelir), menerapkan oleh gerak yang terlampau cepat, yang dalam bahasa Jawa dikenal sebagai gerak ‘pecicilan’. Jadi antara ‘wanda’ dengan olah gerak wayang, harus pula mempertimbangkan derajat kesesuaian di antara keduanya.


Gelas besar (mug) berbahan keramik ini, menerapkan citra (image) ‘gembira’. Hasilnya, mug lalu dirancang dan dibuat menjadi berwarna-warni. Dengan demikian, kesan ‘gembira’ menjadi tampil secara visual. Kesan visual yang dihasilkan ini, juga sangat berpengaruh kepada siapa pemakai dan saat apa memakainya.

Hal yang sama, sering juga diterapkan pada disain suatu produk. Misalnya, pada produk gelas minum berukuran besar (lazim disebut ‘mug’) yang dibuat dari keramik.

Produk gelas minum berukuran besar (mug) berbahan keramik yang pertama, diberi warna ‘gelap’. Misalnya, dibuat berwarna hitam pekat (super black) atau coklat tua (dark brown). Maka kesan visual yang dihasilkan adalah angker, berat, eksklusif, dan formal. Dengan demikian, gelas minum besar ini lebih cocok untuk dipakai oleh kelompok orang yang sudah dewasa atau kelompok eksekutif.

Produk gelas minum berukuran besar (mug) berbahan keramik yang kedua, diberi warna ‘terang’. Misalnya, dibuat berwarna merah terang (red signal) atau kuning terang (bright yellow). Maka kesan visual yang dihasilkan adalah santai, ringan, gembira, dan tidak formal. Dengan demikian, gelas minum besar ini lebih cocok untuk dipakai oleh kelompok orang yang relatif lebih muda atau kelompok eksekutif muda.

Pada contoh ini, gelas minum berukuran besar (mug), seluruh unsurnya, kecuali warnanya, benar-benar sama (sama sekali tidak ada perbedaan). Maka kesan visual yang dihasilkan kedua gelas minum (mug) akan benar-benar sangat berbeda.


Dua buah gelas besar (mug) berbahan keramik ini, seluruh unsurnya benar-benar sama, kecuali warnanya yang berbeda. Hasilnya, mug sebelah kiri yang berwarna gelap atau hitam, akan menghasilkan kesan visual seakan-akan lebih berat. Sedangkan mug sebelah kanan yang berwarna terang atau putih, akan menghasilkan kesan visual seakan-akan lebih ringan. Jadi hanya dengan mengubah warnanya, kedua mug ini akan mempunyai kesan visual yang sangat berbeda.

Dari dua bahasan tersebut di atas, yakni bahasan tentang wayang dan produk, segeralah tampak ada kesamaan yang bersifat mendasar. Artinya, istilah ‘wanda’ pada wayang, sebenarnya tidak berbeda sama sekali dengan istilah ‘citra’ (image) yang umumnya lebih dikenal pada proses disain. Namun, yang membuat unik pada wayang, adalah karakter visual khas pada tokoh wayang tertentu, umumnya lalu diberi istilah yang khas pula. Misalnya, karakter ‘romantis’ yang diterapkan pada wayang tokoh Harjuna, lazimnya diberi sebutan ‘kinanthi’, atau lengkapnya disebut ‘wanda kinanthi’. Dalam kasus ini, kesan visual ‘romantis’ yang diterapkan pada wayang tokoh Harjuna, diberi sebutan’Harjuna wanda kinanthi’. Uniknya, penyebutan ‘wanda kinanthi’ tidak pernah ditemukan diterapkan pada tokoh wayang lainnya (selain Harjuna). Jadi, kita mendapatkan pemahaman baru, yakni sebutan ‘kinanthi’ sebenarnya bukanlah mewakili suatu sifat atau karakter tertentu, tetapi lebih tepat kita nyatakan sebagai ‘sebutan untuk suatu kesan visual tertentu pada tokoh wayang tertentu’. Sedangkan kesan visual yang diwakili dengan sebutan wanda kinanthi, sebenarnya adalah kesan visual ‘romantis’. Jadi, kita bisa menyatakan, tokoh wayang Harjuna yang diberi kesan visual yang mewakili sifat atau karater ‘romantis’, lalu disebut ‘Harjuna wanda kinanthi’. Itulah yang sebenarnya terjadi pada wayang! Jika kita memakai istilah disain (yang secara umum bisa dikatakan berasal dari dunia Barat), maka bisa dikatakan sebagai ‘Harjuna yang diberi citra (image) romantis’ atau ‘Harjuna yang bercitra romantis’.

Sedangkan pada disain yang berkait erat dengan produk pada umumnya, lazimnya tidak dilakukan pemberian sebutan khas untuk menyatakan suatu karakter visual khas tertentu yang dihasilkan. Dalam hal ini, penyebutannya biasanya hanya dinyatakan untuk mewakili sifat visualnya saja. Misalnya, gelas minum berukuran besar (mug) yang bercitra ‘elegan’. Dalam kasus ini, lazimnya tidak ada sebutan lain yang dinyatakan sebagai pengganti yang setara, untuk gelas minum berukuran besar (mug) yang bercitra ‘elegan’.

Sebagai penutup bahasan, ada baiknya juga dipahamkan sebagai berikut.

Bahwa antara pengertian ‘citra’ (image) dan ‘wanda’, secara nyata sama sekali tidak ada perbedaan di antara keduanya.

Bahwa ‘citra’ (image) atau ‘wanda’, sebenarnya bisa diterapkan pada semua benda, produk, atau suatu karya; baik yang bersifat nyata, maupun yang bersifat tak nyata. Misalnya, diterapkan pada gendhing, antawacana (dialog), janturan (narasi, cerita), lagu, suasana, musik, syair, karya sastra, karya lukis, karya patung, karya keramik, karya arsitektur, dan bahkan secara ekstrim juga bisa diterapkan pada karya enjinering atau teknik, seperti jembatan misalnya.

Citra atau wanda, secara umum dapat dipahamkan sebagai ‘kesan visual yang tampil mewakili atau merefleksikan suatu sifat, suasana, kondisi, emosi, atau karakter khas; yang bersifat tertentu’. Namun, karena bisa diperluas pengertiannya sehingga mencakup berbagai hal lainnya (musik, sastra, syair, puisi, lagu, dan sebagainya), maka bisa juga dipahamkan sebagai ‘kesan yang tampil mewakili atau merefleksikan suatu sifat, suasana, kondisi, emosi, atau karakter khas; yang bersifat tertentu.’

Sebagai catatan, di bidang disain, khususnya disain produk, pemahaman tentang ‘citra’ (image) baru mulai mendapat perhatian serius kira-kira sejak sekitar tahun 1950-an. Meskipun sebenarnya tentang citra, sudah ada yang mulai membahasnya sejak lama, namun nyatanya baru sejak tahun 1950-an citra mulai menjadi tumpuan perhatian para perencana/disainer produk dari berbagai negara. Penyebabnya, orang baru mulai sadar tentang diperlukannya suatu pendekatan rupa berdasar suatu citra tertentu, yang bisa dipakai untuk menarik perhatian pembeli atau calon pemakai, serta dalam rangka memenangkan persaingan pasar. Penerapan citra menjadi semakin dominan sejak sekitar tahun 1970-an sampai sekarang.

Lalu bagaimana dengan penerapan ‘citra’ (image) atau ‘wanda’ pada wayang? Berdasar sejumlah fakta sejarah, penerapan wanda pada wayang bisa dikatakan baru dimulai secara intensif sejak masa Kerajaan Pajang dan Demak, yaitu pada saat para Wali mulai merancang wayang sebagai suatu media komunikasi atau sarana bantu untuk melakukan penyebaran agama Islam. Namun, upaya penerapan yang bisa dikatakan sangat spektakuler dan merupakan puncaknya, adalah pada masa pemerintahan Sultan Agung, dari Kerajaan Mataram (baru), di sekitar pertengahan abad ke-16. Pada masa ini, tokoh wayang raksasa Cakil ‘berhasil didisain dan dibuat’. Demikian pula tokoh wayang ‘raksasa berambut api’, yang dalam bahasa Jawa lebih dikenal dengan sebutan ‘buta rambut geni’. Fakta sejarah juga menunjukkan secara jelas, bahwa sejak masa pemerintahan Sultan Agung itu, semua wayang kulit purwa yang dibuat, sudah menerapkan wanda secara konsisten, dan mengacu kepada suatu konsep, acuan, atau aturan (pakem) yang jelas. Oleh karena kejelasan konsep dan konsistensinya itu pula, maka pada masa sekarang jika kita hendak memesan wayang kulit purwa tokoh Harjuna misalnya, maka kita cukup mengatakan kepada pembuatnya: “Mas saya minta tolong dibuatkan wayang kulit Harjuna wanda kinanthi.” Dan, jika misalnya kita memesan lima buah wayang kulit purwa tokoh Harjuna wanda kinanthi, kepada lima orang pembuat wayang kulit yang berbeda dan bertempat tinggal saling berjauhan, maka jika kelima orang pembuat wayang kulit purwa itu memang merupakan pembuat wayang kulit yang baik, menguasai, mumpuni pengetahuannya, dan mengacu kepada mahzab atau ‘gagrak’ yang sama; maka hasilnya kita akan mendapat lima buah wayang kulit purwa tokoh Harjuna, yang semuanya mempunyai kesan visual yang sama, meskipun mungkin garapan rupanya (tatahan dan sunggingan-nya) bisa saja berbeda.

Dari bahasan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan orang Indonesia, khususnya suku-bangsa Jawa tentang ‘citra’ (image), ternyata sudah jauh lebih dulu menguasai dan menerapkannya, dibandingkan dengan orang Barat atau orang Eropa. Hanya saja, penyebutan dan aplikasinya sangat khas, yaitu pada wayang kulit purwa. ‘Citra’ (image), di kalangan masyarakat Jawa khususnya para pecinta dan pembuat wayang, disebut dengan istilah ‘wanda’. Kadang-kadang, untuk bidang tertentu seperti ‘keris’, juga dikenal istilah ‘dhapur’ , yang artinya ‘bentuk, rupa, atau pola’.[6] Sedangkan pada gamelan Jawa, dikenal istilah ’embat’, yang juga merefleksikan suatu kesan tertentu.[7] Jadi, di kalangan masyarakat suku-bangsa Jawa, dikenal ada sejumlah istilah yang berbeda untuk mewakili suatu kesan tertentu, meskipun sebenarnya mempunyai makna dan pengertian yang sama atau sekurang-kurangnya mirip.

Berdasar pemahaman di atas, maka ‘wanda’ atau ‘citra’ (image), bisa saja diterapkan pada banyak benda atau karya. Dan, berdasar hal itu pula, maka pada suatu ketika nanti, saya bisa saja memesan rumah tinggal, dan kepada perencana atau arsiteknya, saya bisa berkata: “Mas, saya ingin anda merancangkan rumah tinggal untuk saya, yang ‘ber-wanda kinanthi’, karena saya sangat mencintai isteri saya, dan saya sangat ingin rumah tinggal saya itu bersuasana sangat romantis.” Atau, saya akan datang kepada seorang perancang busana langganan saya, dan mengatakan: “Mbak, tolong dong rancangkan seperangkat baju pesta untuk dipakai pada malam hari. Masing-masing, pakaian untuk saya dan isteri saya. Berpasangan lo Mbak! Jadi, kedua baju itu harus serasi dan cocok untuk dipakai saya dan isteri saya. Dan jangan lupa ya Mbak, tolong Mbak menerapkan ‘wanda kinanthi’ ya, pada kedua perangkat baju pesta malam itu. Saya ingin memberikan kesan romantis kepada orang lain yang melihat kita berdua.” Dari contoh ini, jelaslah bagaimana ‘wanda’ sebenarnya bisa diterapkan tidak saja pada wayang, tetapi juga kepada berbagai macam benda atau produk. Dan, yang mungkin tidak terpikirkan oleh kita semua, adalah ‘wanda, sebenarnya adalah citra (image) khas Indonesia.’

__________________________________

[1] Istilah ‘kinanthi’, artinya: digandeng, disertai, bergandeng tangan. ‘Kanthi’, artinya: dengan, beserta. Dalam kalimat halus ‘asta kinanthi’, artinya: tangan yang digandeng, bergandengan tangan, atau saling bergandengan tangan. Secara umum, ‘wanda kinanthi’ lazimnya dipakai untuk menyatakan kesan visual ‘romantis’.

[2] Istilah ‘geger’, artinya: ribut, huru-hara, gempar, jingar-bingar. Secara umum, ‘wanda geger’ lazimnya dipakai untuk menyatakan kesan visual yang bersuasana marah.

[3] Istilah ‘kikik’, artinya: sebutan untuk sifat sejenis anjing yang tubuhnya pendek, kekar, dan mukanya sangat galak. Istilah yang lazim dipakai sehari-hari, adalah ‘asu kikik’, yang artinya: anjing yang badanya kecil tetapi galak dan menakutkan.

[4] Istilah ‘thathit’, artinya: petir, halilintar, sambaran petir, sambaran halilintar.

[5] Istilah ‘guntur’, artinya: suara halilintar yang terdengar amat sangat keras, gemuruh menggelegar.

[6] Istilah ‘dhapur’ pada bidang keris, artinya bukanlah tempat melakukan kegiatan memasak, melainkan berarti: bentuk, pola, bentuk permukaan keris, atau bentuk badan keris. Misalnya, ada keris yang disebut ‘keris dhapur naga-sasra’ , yaitu keris yang bentuk badannya mempunyai banyak ‘lengkungan’ (lazim disebut ‘luk’). Namun, dalam bahasa Jawa, istilah ‘dhapur’ memang bisa juga berarti: bentuk wajah atau bentuk muka (seseorang). Misalnya, pada kalimat: “Dhapurmu elek tenan”, yang artinya: “wajahmu buruk sekali.” Istilah ‘dhapur’, juga bisa berarti: ruang tempat dilakukannya kegiatan memasak. Misalnya, pada kalimat: “Masak mesthine nang dhapur aja nang njaba”, yang artinya: “Memasak mestinya dilakukan di ruang memasak, jangan dilakukan di luar.”

[7] Istilah ’embat’, artinya secara umum adalah deviasi frekuensi atau nada pada ricikan gamelan. Dalam hal ini, pemberian suatu ’embat’ tertentu, akan menghasilkan kesan auditif yang tertentu. Sebagai contoh, gamelan yang secara khusus dirancang sebagai pengiring pagelaran wayang, umumnya menerapkan ’embat mucuk bung’ atau sekurang-kurangnya menerapkan ’embat sundari’. Gamelan yang menerapkan ’embat mucuk bung’, akan menghasilkan suara yang gelombang getaran ombak-ombakan’ -nya relatif sangat cepat. Sehingga sangat sesuai untuk permainan gamelan yang dipakai sebagai pengiring pagelaran wayang.

sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=225464514146471

1 Comment (+add yours?)

  1. Trackback: Seluk Beluk WAYANG « habillawa

Leave a comment