Gendhing Talu , Cerita Kehidupan Manusia

Pagelaran wayang, sejak beratus tahun yang lampau, selalu diawali dengan dimainkannya suatu konser karawitan khas, yang mengawali setiap pagelaran wayang. Konser karawitan yang sangat khas ini, lazim disebut ‘talu’ (dalam bahasa Jawa) atau ‘tatalu’ (dalam bahasa Sunda). Konser karawitan ini, dimainkan sekitar satu jam, sebelum pagelaran wayang yang sesungguhnya dimulai. Seluruh filosofi cerita kehidupan manusia, sejak ia belum ada, kemudian lahir, berubah menjadi remaja, menginjak dewasa, dan berubah menjadi tua renta, serta akhirnya sampai pada masa kembali tiada (kembali ke haribaan Yang Maha Kuasa), diceritakan dan ditampilkan dalam sekumpulan komposisi gendhing (lagu). Ini merupakan ringkasan seluruh kehidupan manusia di ‘alam jana loka’. Sedangkan pagelaran wayang yang dimainkan semalam suntuk (sekitar 7 – 8 jam), sebenarnya hanya merupakan penggalan sepersejuta dari seluruh kehidupan manusia di dunia ini.

Dalam banyak kesempatan, pagelaran wayang (yang manapun), orang atau penonton seringkali tidak mengerti dan tidak memahami secara lengkap, mengapa selalu ada permainan konser karawitan Talu. Bahkan, banyak juga yang beranggapan bahwa dimainkannya gendhing-gendhing Talu hanya sebatas sebagai tanda bahwa pertunjukan wayang hendak dimulai. Ini merupakan pemahaman umum. Sudah barang tentu, setiap daerah mempunyai kekhasan sendiri dalam memainkan gendhing-gendhing Talu.

Di bawah ini, dikutipkan dari buku Serat Kandha Karawitan Jawi, bagaimana gendhing Talu dimainkan, apa tujuannya, apa maknanya, dan apa yang dikandung di dalamnya. Meskipun bahasan ini didasarkan kepada kebiasaan dan tradisi yang berlaku pada pagelaran wayang kulit purwa Jawa, tetapi sebenarnya berlaku universal.

Talu, adalah permainan karawitan atau permainan gamelan, yang mengawali suatu pagelaran yang sesungguhnya. Dalam hal ini, biasanya talu hanya dimainkan untuk mengawali pagelaran wayang saja. Pada saat talu, biasanya dimainkan gendhîng (lagu) khusus, yang memang digunakan untuk keperluan pengiring talu. Gendhîng (lagu) pengiring talu ini, lazim disebut gendhîng talu atau gendhîng patalôn. Tidak diketahui dengan pasti, sejak kapan gendhîng talu mulai dimainkan orang sebagai rangkaian gendhîng yang mengawali pagelaran wayang. Tetapi diperkirakan, sudah dimainkan orang sejak ratusan tahun yang lalu.

Permainan gendhîng talu, umumnya bertujuan:

Mengubah dan membuat suasana menjadi renggep, regeng, sakral, magis, dan khas wayangan’. Hal ini, disebabkan hanya pagelaran wayang yang menggunakan gendhîng talu untuk mengawali pagelaran. Selain itu, komposisi dan cara memainkan gendhîng talu sangat khas; sehingga memberikan suatu ciri tersendiri.

Waktu yang digunakan untuk memainkan gendhîng talu, biasanya relatif lama. Jika dimainkan secara lengkap, biasanya memakan waktu sekitar satu jam. Dalam waktu selama ini, dhalang dapat menyiapkan diri sebaik-baiknya. Demikian pula para pembantu dhalang dapat menyiapkan segala keperluan dhalang, termasuk menyiapkan dan meletakkan sesajèn (sesajian) di tempat yang sudah ditentukan.

Pada pagelaran wayang kulît, bagian akhir permainan gendhîng talu dimainkan dengan cara yang sangat khas. Bagian ini, digunakan untuk mengiring dhalang menaiki panggûng pagelaran, menuju ke tempat duduknya, yaitu di sebelah kanan kothak wayang (kotak tempat menyimpan wayang). Suasana pada saat dhalang menaiki panggûng pagelaran, biasanya sangat mencekam. Pada saat dhalang mulai menaiki pangung pagelaran, biasanya lampu-lampu penerangan lainnya akan dipadamkan; dan hanya bléncông (lampu penerangan yang dipasang di atas geber/kelîr wayang) yang menyala. Dengan demikian, suasananya menjadi sangat magis.

Bagi penonton pagelaran, permainan gendhîng talu digunakan sebagai tanda bahwa pagelaran wayang akan segera dimulai. Sedangkan bagi dhalang, permainan gendhîng talu merupakan tanda untuk mempersiapkan diri. Pada saat permainan gendhîng talu diakhiri, dhalang sudah harus duduk di tempatnya, dan siap untuk mengawali seluruh pagelaran wayang.

Gendhîng talu, biasanya mulai dimainkan para panjak, sesaat setelah pengatur acara selesai mengumumkan berbagai macam informasi yang berkait erat dengan pagelaran. Misalnya, siapa yang akan menjadi dhalang, cerita apa yang hendak dibawakan dhalang, siapa pesindhèn-nya, dari kelompok mana panjak yang mengiringi pertunjukan malam itu, siapa yang punya hajat, serta dalam rangka apa pagelaran itu dilaksanakan. Pada saat ini, biasanya penonton yang tidak duduk di ruang tamu resmi, agak tidak tenang. Hal ini, lazimnya disebabkan penonton sibuk menyiapkan dan mengatur tempat duduknya. Mereka mulai mengatur tempatnya, supaya bisa dengan leluasa melihat ke arah geber/kelîr wayang. Di sekitar tempat pagelaran, keadaan biasanya berubah perlahan-lahan menjadi lebih tenang dan hening. Anak-anak berhenti berlarian atau berhenti bermain; dan memperhatikan apa yang sedang terjadi.

Beberapa saat terjadi keheningan. Lalu terdengar sesaat suara senggrèngan ricikan rebab, dibunyikan oleh panjak rebab; memberikan tanda kepada para panjak untuk mempersiapkan diri. Hening sesaat, lalu terdengar nada-nada awal bukâ gendhîng, mulai dimainkan oleh panjak rebab. Terdengar suara gông ageng ditabuh, bersamaan dengan saat nada-nada bukâ gendhîng mencapai akhir. Gendhîng talu mulai menggema, irâmâ-nya semula cepat, secepat detik-detik awal permulaan kehidupan manusia dimulai; lalu perlahan-lahan melambat, seakan menceritakan mulai mapannya putaran jantra kehidupan manusia. Suara sulîng (seruling) melengking tinggi, bersambut dengan tembang pesindhèn yang sendu, disambut dengan desah suara rebab; seakan-akan mengalunkan cerita tentang awal dan akhir kehidupan manusia. Pahit-getir dan manisnya madu kehidupan manusia di alam jânâlokâ, di-tembang-kan dalam gendhîng. Menggetarkan gunungan, hakekat pelindung seluruh alam kehidupan manusia. Lalu pagelaran-pun dimulai.

Rangkaian gendhîng talu, mempunyai makna filosofis yang sangat dalam. Rangkaian gendhîng talu ini, sebenarnya menceritakan peristiwa jantra kehidupan manusia; sejak manusia dilahirkan, sampai ia meninggal dan kembali ke pangkuan Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya). Nama-nama sebutan gendhîng (lagu) yang digunakan pada rangkaian gendhîng talu yang paling lazim dimainkan oleh para panjak sejak beratus tahun yang lampau, sesungguhnya semuanya berkait erat dengan perjalanan hidup manusia. Begitu pula jika kita lihat urutan memainkannya, dan cara memainkannya. Semuanya menunjuk kepada adanya suatu alur proses kehidupan manusia.

Cucûr Bawûk; adalah nama sebuah gendhîng khas talu, yang mengawali permainan seluruh rangkaian gendhîng talu. Gendhîng ini, merupakan salah satu gendhîng yang paling banyak dimainkan para panjak sejak ratusan tahun yang lalu, untuk mengawali pagelaran wayang. Istilah cucûr bawûk, mewakili sebutan untuk proses reproduksi kehidupan manusia, yang dilakukan oleh pria dan wanita. Jika ditilik dari makna sesungguhnya, istilah cucûr, mewakili hakekat proses kerja alat repoduksi kehidupan (alat kelamin) yang dimiliki kaum pria. Istilah cucûr, pada dasarnya berarti : mengucur, mengalir, tetesan, atau aliran. Sedangkan istilah bawûk; mewakili hakekat sifat alat reproduksi kehidupan manusia (alat kelamin), yang dimiliki oleh wanita. Dengan demikian, istilah cucûr bawûk, jelas mengandung maksud hendak menceritakan hakekat proses awal kehidupan manusia. Kehidupan manusia, pada hakekatnya, selalu dimulai dari ritual pertemuan dua manusia, yaitu pria dan wanita; yang diikat oleh tali cinta dalam suatu perkawinan.

Istilah bawûk, di kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, juga dikenal sebagai panggilan kesayangan untuk anak perempuan atau anak gadis. Seorang anak perempuan yang sangat disayangi oleh orang-tuanya, biasanya dipanggil dengan sebutan bawûk atau wûk. Panggilan atau sebutan ini, juga setara artinya dengan ndhûk atau nîng. Sedangkan istilah cucûr, kucûr, atau ngucûr; mewakili hakekat peristiwa yang dilaksanakan oleh alat reproduksi yang dimiliki oleh kaum pria, pada saat dilakukan proses reproduksi kehidupan manusia. Istilah cucûr, kucûr, atau ngucûr; mempunyai pengertian : mengucur, menetes, atau mengalir perlahan-lahan. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah cucuran atau tetesan kehidupan baru yang diberikan oleh pria kepada wanita, dalam proses reproduksi kehidupan manusia. Dalam istilah sehari-hari, istilah ini mewakili proses bersenggama atau bersetubuh, antara pria dan wanita; yang kemudian membuahkan adanya janin (bayi). Hakekat kehidupan pria dan wanita yang terikat perkawinan dan cinta yang penuh kesucian; adalah pria memberikan dan wanita menerima benih kehidupan manusia masa depan. Mereka itu, berdua pada hakekatnya adalah sepasang manusia yang melayarkan biduk kehidupan, menempuh badai di dalam samodra kehidupan di alam jânâlokâ.

Keinginan hati untuk dapat menimang seorang anak, seringkali mengakibatkan kepahitan hidup atau kesengsaraan bagi seorang ayah atau seorang ibu. Bayang-bayang kebahagiaan seorang ibu untuk menimang bayinya, sering disertai kerelaan untuk menghadapi kesengsaraan, kesakitan, bahkan kematian; pada saat melahirkan. Dapatkah seorang laki-laki (bagaimanapun tegarnya ia pada saat menghadapi badai kehidupan) bersikap tegar dan tega pada saat menghadapi dan mendampingi wanita yang menjadi garwâ-nya (istilah garwâ, merupakan singkatan sigaraning nyâwâ; yang artinya : belahan jiwa) saat harus meregang nyawa menghadapi kesengsaraan, kesakitan, bahkan mungkin kematian; pada saat melahirkan bayi dambaan hatinya? Dapatkah seorang pria membayangkan bagaimana isteri tercintanya itu meregang tubuh, menantang maut hanya untuk melahirkan seorang bayi yang selalu dimimpikan ayahnya? Apakah seorang pria terbayangkan bahwa keselamatan dan kelahiran bayinya, manusia muda dambaan yang seringkali diceritakannya atau dimimpikannya itu; seringkali harus ditebus dengan kesengsaraan dan bahkan mungkin kematian isteri tercintanya? Seorang pria, tidak akan pernah bisa membayangkannya, karena ia ditakdirkan untuk tidak pernah mengalami peristiwa ini.

Ritual pertemuan antara pria dan wanita, pada akhirnya akan melahirkan manusia-manusia muda. Mereka itu, manusia yang akan mengarungi samodra kehidupan masa depan. Anak-anak mereka yang baru lahir itu, lemah dan tak berdaya sama sekali menghadapi dunia yang penuh rintangan dan mara bahaya, dalam menempuh kehidupan yang ganas dan tak kenal belas kasihan. Tetapi bagi ayah dan ibunya, mereka ini merupakan permata hati yang tak terkirakan nilainya. Seorang ayah atau ibu, bahkan rela ‘tôh pati’ atau ‘ngetôhi pati’ (bertaruh nyawa atau bersabung nyawa; mempertaruhkan keselamatan diri sendiri), demi keselamatan, kebahagiaan, dan kehidupan anak-anak mereka.

Kelucuan, kerinduan, kelembutan anak-anak manusia yang telah dilahirkannya itu, dan juga kenakalannya; tak akan pernah merintangi ayah dan ibunya, untuk mencintai dan menyayanginya. Kesulitan demi kesulitan yang harus dihadapi oleh seorang ayah atau seorang ibu, untuk mempertahankan hidup, membesarkan, menyenangkan, dan membahagiakan anak-anak permata hati tercintanya itu; bahkan sering membuat kehidupan ayah dan ibu menjadi sengsara. Mereka berdua, sepasang manusia; berjuang menempuh badai lautan kehidupan, demi permata hatinya, demi anak-anaknya; biarpun kehidupan mereka sendiri seringkali penuh dengan kepahitan; sepahit rasa buah paré anôm (buah paria muda); yang biarpun terasa pahit, tetapi tetap juga dimakan. Sayur yang menggunakan bahan buah paria muda; meskipun sudah dimasak, akan tetap terasa sangat pahit. Meskipun terasa pahit, sayur buah paria muda ini tetap memiliki rasa sedap yang luar biasa jika dimakan. Sayur paria muda, merupakan salah satu sayur yang sangat disukai oleh kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa dan Sunda. Makanan bakso tahu, yang umumnya sangat disukai dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia misalnya, seringkali juga menggunakan paria muda sebagai salah satu kelengkapan sayurnya; selain menggunakan sayur kol dan kentang rebus.

Di dalam kesengsaraan dan kepahitan hidup ayah dan ibu, kelucuan anak-anaknya seringkali menjadikan kehidupan yang pahit itu terasa manis. Makna filosofis buah paria muda inilah yang dikandung dalam gendhîng Paré Anôm; yang merupakan kelanjutan gendhîng Cucûr Bawûk; karena memang begitulah hakikat ritual kehidupan manusia di alam jânâlokâ ini. Kesulitan dan kepahitan hidup, seringkali harus dialami manusia jika ia hendak menggapai cita-citanya.

Jika anak-anak telah mulai menjadi remaja; maka mulailah suatu dunia yang baru yang ‘asri’ (indah) dan ‘moncèr’ (penuh kecemerlangan, dan penuh gemerlap). Ayah dan ibu anak-anak itu, akhirnya hanya bisa melihat dari kejauhan; dan seringkali tidak lagi bisa berbuat apa-apa; atau, tidak bisa berbuat banyak lagi. Anak-anaknya mulai berubah menjadi remaja yang tampan dan cantik. Mereka mulai meninggalkan pangkuan dan rengkuhan orang-tuanya. Mereka itu memulai proses meninggalkan kehidupan bergantung kepada ayah dan ibu. Mereka itu adalah anak-anak manusia, yang sudah dibekali ‘kawrûh, kasantosan, lan ilmu’ (pengetahuan, keteguhan hati, dan ilmu) dalam menyongsong masa depan. Anak-anak yang mulai menginjak remaja itu, bagi orang-tua yang telah membesarkannya dengan segala kesulitan; mereka itu sangat katôn asri (terlihat sangat indah), seperti realitas yang mereka tampilkan. Jika anak-anak mereka itu pria, maka akan terlihat sebagai manusia yang muda, tampan bagai satriyâ (ksatria), râjâ mudhâ (raja muda), atau bagaikan déwa (déwa) turun dari kahyangan. Atau, jika anak-anak mereka itu perempuan, maka akan terlihat sebagai manusia yang cantik rupawan, belia, jelita, bagaikan dèwi, bagaikan puteri kahyangan, atau bagaikan ratu. Mereka itu, akan menjadi intan permata orang-tua, yang dengan segala kecermerlangannya, menyongsong kehidupan masa depan, untuk kemudian menjadi manusia-manusia dewasa, panuh pamôr kehidupan, dan akhirnya akan menggantikan segala peran ayah ibu mereka.

Itulah kandung makna filosofis gendhîng ladrang Sri Katôn; yang merupakan nama gendhîng lanjutan dari gendhîng Paré Anôm. Dan memang begitulah cerita kehidupan kita sebagai manusia. Masa-masa yang penuh kesulitan akhirnya berganti dengan masa penuh kecemerlangan dan gemerlap; paling tidak dalam bentuk cita-cita atau mimpi. Masa dewasa yang penuh dengan keberhasilan dan penuh gebyar gemerlap duniawi. Manusia memetik ‘wôhîng penggawé’; yakni memetik karma, buah dari perbuatan dan peri-lakunya. Mencapai puncak kejayaan, puncak segala cita-cita kehidupan yang dimimpikannya.

Dinâ (hari) berganti minggu; minggu berganti wulan (minggu); wulan berganti warsâ (tahun); warsâ berganti windu; dan seterusnya. Sang Kâlâ berjalan terus menuruti takdirnya, memângsâ seluruh isi kehidupan di alam jânâlokâ. Maka datanglah akhir masa katôn asri, akhir masa gemerlap dan kegemilangan; meninggalkan kenangan yang indah dan penuh mimpi. Manusia-manusia dewasa itu, telah mulai berubah menjadi manusia-manusia yang tua renta. Kehilangan segala keperkasaan masa mudanya, kehilangan kejelitaan masa gemerlapnya. Menyongsong masa akhir, saat hidup hendak berhenti; saat datang masanya hendak menghadap Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya). Dan akhirnya, datang jua waktu yang sudah ditakdirkan dan dijanjikan itu. Jiwa manusia bersiap pergi meninggalkan raganya. Sûkmâ Ilang, menghadap ke pangkuan Sang Penguasa Hidup dan Mati. Manusia tak bisa menolak takdir yang telah diberlakukan terhadapnya. Begitulah kandungan makna filosofis gendhîng ketawang Sûkmâ Ilang, yang berkisah tentang saat akhir kehidupan manusia di alam jânâlokâ. Manusia meragukan kembali, berbagai hal yang baik dan buruk tentang dirinya. Ia bimbang kepada seluruh kehidupannya.

Segala yang sudah terjadi, disesali; meskipun ia tahu hal itu tak lagi berguna. Segalanya sudah menjadi bubur. Sang Kâlâ telah memburunya, untuk segera menghadap Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya); mempertanggung-jawabkan segala perbuatan dan kehidupan duniawinya. Seperti irâmâ gendhîng Ayak-ayak yang tak menentu; kadang-kadang cepat dan kadang-kadang melambat; serba terbata-bata, serba tak jelas lagi irâmâ-nya. Seakan-akan hidup ini masih panjang, tetapi seringkali terasa bahwa kehidupan seakan tinggal beberapa detik lagi. Manusia, dengan terburu-buru menimbang kembali segala perbuatan dan peri-lakunya di alam jânâlokâ. Sang Kâlâ semakin dekat dengan janjinya. Dalam irâmâ yang semakin nyrepeg (terburu-buru) dan melonjak-lonjak, tergesa-gesa manusia berusaha menebus segala keburukan duniawinya; meskipun sering terlambat dan kehabisan waktu. Tak ada lagi kesempatan, tak ada lagi yang bisa menolong dan menyelamatkannya dari kematian.

Sang Kâlâ sudah tak sabar lagi. Dengan nyrepeg, dijemputnya manusia, untuk mempertanggung-jawabkan hidup dan peri-lakunya. Lalu sampak-pun tiba-tiba bertalu-talu; melonjak-lonjak ganas, menyentak, merenggut nyawa manusia dan seluruh kehidupan manusia seketika. Manusia meregangkan tubuhnya dalam satu sentakan terakhir. Jiwa manusia lepas dari râgâ-nya; dijemput Sang Kâlâ. Lalu seketika hening, segala berakhir di sini. Semuanya, tiba-tiba kembali ke keadaannya semula. Kembali menjadi tiada. Kembali dalam keheningan abadi.

Gendhîng Cucûr Bawûk, yang melambangkan pertemuan sejoli manusia, yang dilanjutkan Paré Anôm, yang melambangkan dimulainya kehidupan muda manusia; kemudian disambut ladrang Sri Katôn, yang mewakili kehidupan cemerlang masa muda manusia; lalu berpindah menjadi ketawang Sûkmâ Ilang, saat manusia dewasa telah menjadi renta. Dan pada saat semuanya hendak berakhir, Ayak-ayak Talu digemakan; melambangkan proses penyesalan manusia saat nyawanya hendak menghadap Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya). Lalu datanglah Sang Kâlâ menjemput, diiring Srepegan Manyurâ yang serba terburu-buru. Dan bersama dengan gema Sampak Manyurâ yang menyentak dan melonjak seketika; berakhirlah seluruh kehidupan manusia di alam jânâlokâ. Gendhîng-gendhîng yang dirangkai menjadi suatu kesatuan itu, semuanya menceritakan seluruh filosofi kehidupan ritual manusia. Ini merupakan rangkaian gendhîng yang bersifat sakral, dan juga merupakan salah satu rangkaian gendhîng yang bersifat ritual; yang dalam waktu relatif singkat menceritakan seluruh proses kehidupan manusia, sejak dilahirkan sampai mati. Sejak dari tiada, kembali menjadi tiada. Menyadarkan manusia yang masih hidup, bahwa ia tak lebih dari setitik debu tanpa arti di hadapan Sang Murbèng Jagat Râyâ (Sang Penguasa Jagat Raya).

Gendhîng talu, biasanya dimainkan sesaat menjelang pagelaran. Jika dimainkan secara lengkap, seluruh rangkaiannya akan memakan waktu sekitar satu jam. Karenanya, pada saat dimainkan, harus diatur waktunya sedemikian rupa, sehingga pada saat berakhirnya permainan gendhîng talu; waktu menunjukkan saat yang tepat untuk memulai pagelaran wayang, yaitu sekitar pukul sembilan malam (jika pagelaran wayang dilakukan malam hari); atau, pukul sembilan pagi (jika pagelaran wayang dilakukan pada siang hari).

Gendhîng talu, selalu berupa suatu rangkaian komposisi yang disusun atas beberapa gendhîng yang berlainan pola. Rangkaian komposisi gendhîng talu yang paling banyak dimainkan orang sejak ratusan tahun yang lampau, adalah pola gendhîng yang disusun atas gendhîng Cucûr Bawûk, minggah (dipindahkan atau dilanjutkan) ke Paré anôm; lalu minggah (dipindahkan atau dilanjutkan) ke ladrang Sri Katôn; kemudian lalu minggah (dipindahkan atau dilanjutkan) ke ketawang Sûkmâ Ilang; disambut minggah (dipindahkan/dilanjutkan) ke Ayak-ayak Talu; kemudian minggah (dipindahkan atau dilanjutkan) ke Srepegan Manyurâ; dan seterusnya minggah (dipindahkan atau dilanjutkan) ke Sampak Manyurâ secara mendadak; dan tiba-tiba diakhiri dengan digunakannya nada-nada yang monoton selama beberapa saat.

Urutan pola gendhîng talu yang lazim dimainkan orang secara lengkap (pada pagelaran wayang kulît pûrwâ), jika diurutkan, akan membentuk pola urutan sebagai berikut : pola gendhîng – pola ladrang – pola ketawang – pola ayak-ayak – pola srepegan – pola sampak. Ini merupakan urutan pola yang bersifat baku. Namun demikian, pada masa sekarang seringkali pada saat memasuki pola srepegan, seringkali disisipi permainan gamelan yang berpola palaran, misalnya : palaran Pangkûr; atau, disisipi permainan gamelan yang berpola srepegan lainnya, misalnya, disisipi srepegan Peksi Manyurâ. Tetapi pada jenis pagelaran lainnya, misalnya pada pagelaran wayang wông (wayang orang), seringkali rangkaian gendhîng talu hanya dimainkan sebagian saja. Hal ini, biasanya lebih disebabkan adanya kebutuhan akan pemendekan waktu permainan. Bahkan seringkali dimainkan secara sangat pendek; yaitu menggunakan pola ayak-ayak – pola srepegan – pola sampak. Ini merupakan urutan pola yang paling pendek.

Pola garap gendhîng talu, sangat berbeda dengan pola garap gendhîng pambukâ pagelaran yang mengawalinya. Pada garap gendhîng talu, meskipun permainan wayang belum dimulai, tetapi pola garap-nya sudah menggunakan pola khas garap wayangan. Misalnya, menggunakan pola permainan kendhang kosèk wayangan; menggunakan moda irâmâ kosek wayangan, yang merupakan irâmâ khas wayangan; yaitu ber-irâmâ tanggûng (agak cepat); menggunakan ricikan kecèr wayangan (ricikan kecèr kombali); pada saat permainan gendhîng-gendhîng-nya. Karena gendhîng talu pada dasarnya bermaksa sangat filosofis dan sakral; maka sewaktu memainkannya, biasanya dilakukan secara sangat khusuk.

Pada saat permainan gendhîng talu dimulai; semua lampu penerangan panggûng pagelaran, umumnya dinyalakan dengan terang benderang. Pada saat permainan gendhîng talu mencapai Sampak Manyurâ yang ber-irâmâ sesegan (sangat cepat), biasanya seluruh lampu penerangan akan dipadamkan; dan hanya lampu geber/kelîr wayang atau penerangan dhalang saja yang tetap menyala. Sesaat kemudian, jika dhalang sudah duduk di tempatnya; rangkaian akhir gendhîng talu akan dihentikan secara mendadak dalam nada-nada yang monoton selama beberapa detik. Suasana akan menjadi hening selama beberapa saat. Lalu dhalang akan memberikan âbâ-âbâ bersiap diri, menggunakan cempala; disahut dengan kethekan ricikan kendhang. Bunyi gedhôg yang dilakukan menggunakan cempâlâ, kemudian memberikan tanda bukâ, diikuti bunyi kendhang. Gendhîng Ayak-ayak Manyurâ berbunyi. Pagelaran-pun dimulai.

Bram Palgunadi

sumber http://www.facebook.com/note.php?note_id=179107928782130

3 Comments (+add yours?)

  1. jiwasae
    Nov 18, 2011 @ 00:37:26

    Sae Kang Mas, mohon ijin untuk share. Sembah Nuwun

    Reply

  2. Trackback: habillawa
  3. Trackback: Seluk Beluk WAYANG « habillawa

Leave a comment