Wayang Garing, Wayang Banten Tanpa Gamelan dan Pesinden

Pergelaran wayang kulit tanpa iringan gamelan dan tembang para pesinden, mungkin sulit dibayangkan bentuknya. Bagi yang belum pernah menonton, boleh jadi itu merupakan seni pertunjukan yang membosankan, tidak meriah, dan terasa garing (kering).

Maklum, pakem pertunjukan wayang kulit selama ini selalu melibatkan penabuh gamelan (pangrawit), pesinden (swarawati), dan sang dalang (juru barata). Bahkan, belakangan muncul “kecenderungan” baru menampilkan kolaborasi wayang kulit dengan pelawak, penari, dan penyanyi.

Wayang kulit tanpa iringan gamelan dan pesinden yang melawan arus kecenderungan baru tersebut dinamakan wayang garing. Wayang garing adalah salah satu kesenian wayang yang lahir di Kabupaten Serang, Banten, yang hingga kini sering muncul di pelosok pedesaan.

Istilah “wayang garing” itu diberikan masyarakat yang melihat wayang itu sebagai pagelaran seni yang unik dan berbeda dari lazimnya pertunjukan wayang.

“Garing artinya kering, tidak ada apa-apanya. Kalau sungai dikatakan kering, berarti enggak ada airnya. Begitu pula dengan wayang garing,” ujar R Noer Iman Prijatna Kamadjaja WP, Ketua Persatuan Padalangan Indonesia (Pepadi) Banten.

“Disebut garing karena wayang ini enggak ada musiknya, gamelan beserta 15 panjaknya, dan enggak ada sindennya,” tambah Kajali (57), satu-satunya dalang wayang garing yang tersisa di Kabupaten Serang. Dalam hal ini, peran pangrawit dan pesinden dirangkap oleh sang dalang.

Oleh karena itu, di samping menyampaikan cerita wayang, narasi maupun dialog tokoh wayang, dalang juga harus mengiringi sendiri dengan “gamelan” yang dibunyikan lewat mulutnya. Salah satu bunyi gamelan yang ditirukan dengan mulut dalang itu, seperti dicontohkan Kajali, “Dung pak dung ging, dung ging…ger. Dung pak dung ging, dung ging…ger.”

Begitu pun tembang yang biasanya dilantunkan pesinden, juga didendangkan sang dalang. Bisa dibayangkan, betapa sibuk mulut sang dalang wayang garing ketika mementaskan sebuah lakon wayang. Dengan durasi rata-rata setiap cerita wayang sekitar empat jam, selama itu pula ia harus “mengoceh” tiada henti. “Kalau lagi capek, biasanya kami setelin lagu-lagu Sunda melalui tape,” ungkap Kajali.

Kecuali gamelan dan pesinden, seluruh perlengkapan untuk menggelar wayang garing relatif sama dengan pertunjukan wayang kulit Jawa. Wayang terbuat dari kulit binatang. Peralatan untuk mendalang juga sama, yakni kecrek, cempala, layar, gedebok (batang pohon pisang), dan lampu.

Dari segi cerita, wayang garing juga satu pakem dengan wayang purwa. Lakon cerita itu sama-sama bersumber pada kisah-kisah dalam Mahabrata, Ramayana, dan Lokapala. Kajali mengaku hafal 120 cerita dari kisah-kisah wayang itu, tetapi ada beberapa cerita yang sering ditampilkan karena disenangi banyak penggemar.

Cerita-serita itu sebagian cukup akrab di telinga, seperti Rama Tambak; sebagian cerita lainnya mungkin terdengar agak janggal, misalnya Pendhawa Dibagi Empat, Bangbang Sinar Matahari, Astrajingga Menggugat Warisan, Pancawala Matok Srengenge.

Prijatna menambahkan, beberapa cerita wayang garing itu antara lain diambil dari Babad Banten, seperti Arya Dilla. Menurut dia, cerita itu menuturkan perjalanan Pangeran Arya Mandalika, putra Sultan Maulana Yusuf (Sultan Banten II), dari ibu selir.

“Cerita itu dipandang keramat sehingga sebelum mementaskan lakon tersebut, saya biasanya menyarankan agar Kajali berziarah dulu ke makam Pangeran Mandalika di Kampung Kroya,” ungkap Prijatna.

Meski bersumber dari Babad Banten, kisah Arya Dilla yang diangkat dalam cerita pewayangan sudah bercampur dengan legenda.

Hal yang membedakan wayang garing dari wayang kulit, selain gamelan dan pesinden, adalah soal bahasa. Bahasa yang digunakan dalam wayang garing adalah bahasa Jawa Serang. Tembang untuk kekawin atau suluk adalah tembang-tembang berbahasa Sunda.

Namun, tidak jarang bahasanya campuran antara Sunda dan Jawa Serang. Salah satu contoh kekawin itu berbunyi, “Gunung kelir ya aling-aling. Yaa wong wayang, wayang anut maring dalang, dalang anut maring wayang, kelire wong alam sepita. Dung pak dung ging, dung ging… ger.”

Sedangkan contoh narasi yang menggunakan bahasa Jawa Serang itu, seperti “Sinten kang medalipun saking negara Kota Ngastinaraya, ing endi kocapa Prabu Suyudana kasebatipun kaliyan Begawan Kumbayana, miwah kaliyan Senapati Adipati Karna, agung Mendura Baladewa, serta Tumenggung Jayadrata. Sapiye-piye sakpangandikane, mboten wonten kang ngabuka suara…”, dan seterusnya.

DI Indonesia, wayang garing belum banyak diakui sebagai sebuah genre tersendiri dalam tradisi padalangan di Tanah Air.

Menurut Prijatna, saat ini ada lima jenis wayang yang diakui eksistensinya, bahkan oleh Badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO), yakni wayang golek Sunda, wayang kulit Jawa, wayang Menak (Cirebon dan Banjar), wayang Parwa (Bali), dan wayang Sasak (Lombok, Nusa Tenggara Barat).

Kelima jenis wayang itu telah ditetapkan UNESCO sebagai adikarya budaya lisan nonbendawi warisan peradaban manusia (Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity). Adapun wayang garing, jangankan diakui di tingkat dunia, di tingkat nasional saja masih belum banyak yang mengenal.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melalui website Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, mengklaim wayang garing sebagai bagian khazanah kesenian tradisional Betawi yang sudah musnah. Klaim tersebut dibantah aktivis padalangan dan pengamat seni di Banten, termasuk Prijatna.

Menurut mereka, wayang garing merupakan seni tradisional khas Kabupaten Serang. Prijatna menyebutkan, klaim sepihak oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap wayang garing mirip dengan klaim mereka terhadap kesenian ondel-ondel yang lahir pertama kali di Walantaka, Serang.

Jika kesenian itu dinyatakan musnah di DKI Jakarta, wayang garing masih bisa dijumpai di Serang, Banten, hingga hari ini. Dalangnya pun masih ada, yakni Kajali yang tinggal di Kampung Wadgalih, Desa Mendaya, Kecamatan Carenang, Kabupaten Serang.

Pada hari-hari tertentu, pagelaran wayang garing dapat disaksikan di Kabupaten Serang bagian timur, seperti Carenang, Pontang, Tirtayasa, dan daerah-daerah yang dulunya masuk wilayah Kawedanan Ciruas. Kesenian itu biasanya digelar warga saat musim hajatan pernikahan atau khitanan.

Ada beberapa faktor yang membuat wayang garing tetap disukai penggemarnya. Pertama, tidak merepotkan tuan rumah yang menanggap kesenian itu karena tidak banyak peralatan yang dibutuhkan. Tuan rumah hanya menyediakan gedebok, layar, beserta lampu.

Kenyataan praktis itu juga dialami dalang wayang garing yang dapat membawa wayang dengan naik ojek, bus, atau angkutan umum lainnya. Bahkan, Kajali mengaku, jika jarak ke tempat warga yang menanggap dekat, ia cukup mengangkut wayang dengan sepeda ontel.

Oleh karena itu, menggelar wayang garing ini tidak ribet seperti menggelar wayang kulit atau wayang golek. Wayang garing bisa digelar di mana saja, tidak harus di tempat atau rumah yang halamannya luas.

Faktor kedua, tuan rumah tidak banyak mengeluarkan biaya untuk menjamu maupun untuk upah dalang. Itu karena hanya seorang dalang yang ditanggung akomodasi dan upahnya. Soal tarif, tergantung jarak tempat pertunjukan.

Ia mencontohkan, untuk luar kota seperti Kronjo (Kabupaten Tangerang) dan sekitarnya, tarifnya Rp 300.000. Untuk luar provinsi, seperti Indramayu, Rp 600.000. Sedangkan untuk wilayah Serang dan sekitarnya, Rp 100.000 hingga Rp 300.000.

Faktor ketiga, pertunjuknya disampaikan secara santai, rileks, dan juga bersifat interaktif.

Menurut Prijatna, biasa jika dalang wayang garing tiba-tiba di tengah pertunjukan permisi “ke belakang”. Atau, tiba-tiba ia mengatakan, “Penonton, saya capek, mau istirahat dulu, ya”, atau “Penonton, ada yang bawa rokok? Minta rokoknya, dong….”, dan sebagainya.

Hal-hal seperti itu mungkin “tabu” dalam pedalangan konvensional atau, seperti yang dikatakan Prijatna, terkesan “edan”. Namun, justru itulah yang disukai penonton.

Sumber: Kompas
Penulis: MH Samsul Hadi

Leave a comment