Abiyasa, Profil manusia Wicaksana Yang sudah Menjauhi Duniawi

Abiyasa pepunden Pandawa yang waskita itu tidak hanya berperan sebagai “bibit unggul” saja. Bagaimana sebenarnya dan apa yang terjadi atas diri Abiyasa?

Menurut versi Adiparwa, setelah beberapa waktu Citrawiryamenajdi raja, ia sakit akibat terlalu banyak mengumbar hawa nafsu dan akhirnya ia mati pula dalam usia muda. Lara Amis menangis sedih karena akan “cures” keturunannya. Tak ada jalan lain ia menemui Bisma, katanya:

“Bisma teruskan keturunan almarhum baginda Sentanu yang telah kembali ke Kahyangan agar bangsa Kuru tidak punah”.

Jawab Bisma:

“Duh ibunda, saya telah menjadi Brahmacarya, tidak dibenarkan mengingkari sumpah sendiri’. Sumpahku adalah karena permintaan ibu sendiri sebagai mas kawin atas pernikahan almarhum ayah dan ibu. Ibu tidak perlu susah, masih ada satu jalan yang dapat menyelamatkan agar bangsa Kuru tidak punah dengan tanpa menyimpang dari ajaran agama dan dharma, yaitu agar ibu meminta pertolongan kepada seorang Brahmana yang suci untuk memperoleh keturunan. Karena anak yang didapat dari seorang Brahmana dalam keadaan demikian, akan diakui sebagai keturunan raja dan ia dapat disebut syah sebagai keturunan bangsa Kuru. Apalagi itu atas permintaanku satu-satunya pewaris keturunan bangsa Kuru”.

Lara Amis menangis sambil merangkul Bisma. Ia berkata:

“Oh anakku Bisma begitu agung budimu. Kalau begitu dengarkanlah kata-kataku ini. Ada seorang Brahmana suci dan agung budinya bernama Abiyasa atau Kresnadwipayana. Ia ditakdirkan oleh Tuhan untuk mengajarkan Weda-Weda yang suci. Ketahuilah Bisma ia sebenarnya putraku sendiri. Putraku yang pertama yang kuperoleh atas perkawinanku dengan Resi Palasara. Kalau engkau setuju aku mengusulkan agar ia menikahi kedua janda saudara-saudara iparmu, agar keturunan bangsa Kuru tidak punah”.

Dewabrata setuju dan segera bersemedi untuk memanggil Abiyasa dihadapan ibundanya. Sekejap mata abiyasa sudah datang dan menghadap ibundanya.

Saking girangnya Dewi Gandawati menangis sambil merangkul dan berkata:

“Anakku Abiyasa yang wicaksana kasihanilah bangsa Kuru tidak ada penolong lagi kecuali engkau. Kabulkanlah permintaanku, ambillah kedua janda saudaramu dan berilah keturunan bangsa Kuru agar tidak punah sama sekali. Bisma juga telah memberikan persetujuannya. Bagaimanapun caranya, asal secepatnya mereka melahirkan putranya”.

Pendek kata, perkawinan dilangsungkan, tetapi tentu saja sangat sederhana dalam arti yang sesungguhnya. Artinya tidak ada pesta pora. Mengapa? Karena Resi Abiyasa sudah:

“mungkur ing kadonyan, kawawa nahan hawa, angekes dur angkara, pilalu mahasing sepi, memayu hayuning jagad hamung hamurih rahayuning kang samya oleh puja lan boja”. (Besorge dan fursorge)

Artinya:

“menjauhi duniawi, mampu menahan napsu angkara dan memusnahkan napsu jahat, yang diharapkan selalu hanya ketentraman dan keselamatan dunia, agar para ulama, wiku, resi, pandita dan para wiyasaraja selamat sejahtera tak kurang suatu apa”.

Kalau sekarang kira-kira orang yang mirip dengan Resi Abiyasa itu dikatakan: “seorang suci atau mistikus yang sudah sampai ke hakekat dan ma’rifat, yaitu manusia yang sudah dapat melalui tataran-tataran”: zahid (ascetic/pertapa), taubat, wara (tidak was-was), farq (tidak nista), sabar, tawakal, ridho, mahabah, ma’rifat (gnosis) dan wicaksana. Pendek kata harus berwatak:

“lila lamun kelangan ora gegetun, trima yen kataman, sak serik sameng dumadi, trilegawa nalangsa srahing batara”. Mengapa? Karena wus sengsem rehing sasamun, semuning ngaksama sesamaning bangsa sisip sarwa sareh saking mardi martotama”.

Yang artinya:

Tulus iklas tidak menolak semua nasib yang menimpanya, walau sampai kehilangan pun tidak menyesal, apalagi hanya dibuat serik atau disakiti oleh sesame manusia, harus diterima dengan rela dan rendah hati serta menyerah total kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Mengapa? Karena telah kosong, hampa sama sekali, sabar, suka memaafkan semua kesalahan orang lain dan melatih diri dalam kesempurnaan budi.

Bahkan sudah dapat anugerah illahi, dapat berada dekat dan bersatu dengan Yang Maha Kuasa (karoban Sihing Suksma, kawasa hanggambuh Hyang Wisesa). Oleh karena itu walaupun Resi Abiyasa tahu, bahwa perkawinannya itu agak dipaksakan dan tergesa-gesa, tetapi karena patuh terhadap ibunya ia lakukan juga. Namun sebelumnya ia mengajukan permohonan:

“Duh ibunda yang hambar hormati, saya junjung tinggi titah ibu. Namun izinkanlah saya memohon kepada dewa agung agar anak saya nanti menjadi manusia utama dan sempurna. Begitu juga putri Ambika dan Ambalika, saya harapkan bersedia pula bertapabrata dan sesuci selama satu tahun”.

Saking “notolnya selak kepingin” mempunyai cucu, oleh Lara Amis syarat tersebut ditolak.

Inilah yang disebut “hanggege mangsa (tergesa-gesa)” khilaf terhadap sesuatu bahaya (durgameng tyas kalimput). Apakah akibatnya dari sikap yang “grusuh-grusuh” ini? Baiklah kita ikuti saja kisah berikutnya.

Leave a comment