Merenungkan “PAKEM”

Pagelaran wayang kulit, lazimnya menerapkan sejumlah pakem tertentu. Misalnya, pakem sabetan wayang, pakem anta-wacana, pakem janturan, pakem garap gendhing, dan sebagainya. Sejauh pelaksanaannya menghasilkan sesuatu yang baik, luhur, bernilai tinggi, bermartabat, dan estetis; tentulah penerapan pakem itu akan menaikkan nilai kemanusiaan kita.

Menurut pendapat saya, yang disebut ‘pakem’ adalah sesuatu acuan, pedoman, petunjuk pelaksanaan (juklak), petunjuk teknis (juknis), kisi-kisi, atau ‘term of references’ (TOR); yang dulunya sangat mungkin merupakan suatu ‘kesepakatan bersama’ yang disusun oleh mereka-mereka yang dipandang sebagai empu, panji, tetua, para linuwih, dan/atau para pakar cerdik cendekia di kalangan keraton. Dalam kasus ini, terdapat sejumlah pakem. Misalnya, pakem pembuatan gamelan, pakem karawitan, pakem wayangan, pakem sabetan wayang, pakem tatahan wayang, pakem sulukan, pakem tari, pakem ritual adat, pakem pernikahan adat, pakem ruwatan, pakem slametan, pakem bertani, pakem membuat rumah adat, dan sebagainya.

Sangat mungkin, pakem disusun atas sejumlah kebiasaan lebih dahulu, yang kemudian dibakukan. Tentu saja berbagai kebiasaan ini, dipilih sedemikian rupa, sehingga merupakan berbagai kebiasaan yang baik, luhur, bernilai tinggi, bermartabat, dan estetis. Berdasar kesepakatan bersama, berbagai kebiasaan ini lalu dibakukan menjadi suatu pakem tertentu.

Pakem-pakem tersebut, setelah disepakati, lalu dideklarasikan oleh penguasa. Mungkin saat itu oleh raja atau orang yang bertindak sebagai wakil raja. Jadi, sejak itu, masyarakat yang berada di wilayah kekuasaan kerajaan tersebut harus tunduk kepada pakem-pakem tersebut. Dan, kemudian kita sebagai anggauta masyarakat lalu tunduk dan melaksanakan pakem-pakem tersebut sebagai suatu kuwajiban untuk melaksanakan titah raja (di masa lampau). Jangan lupa, di masa lampau, masyarakat atau penduduk merupakan kelompok orang yang ‘dikuasai’ oleh raja atau kerajaan. Jangan lupa pula, di masa lampau, orang yang mempunyai keunggulan tertentu (kekuasaan, kesaktian, ilmu, atau pengetahuan) seperti raja, dipandang sebagai ‘primus inter pares’ (orang yang dipandang mempunyai suatu keunggulan atau ‘primus’ di antara kalangan masyarakat rakyat jelata). Penjelasan rinci tentang hal ini, bisa dibaca pada buku ‘Penguasa Pribumi’, karangan C.C. Berg.

Sedemikian lamanya pakem-pakem itu diterapkan di kehidupan masyarakat, sampai suatu ketika kita melihat kenyataan

bahwa pakem yang semula merupakan kesekapatan bersama, akhirnya berubah suatu ‘dogma’ yang seakan-akan berlaku secara mutlak dan sama sekali tidak boleh diubah. Hal ini, menurut pendapat saya merupakan hal yang wajar saja. Semakin lama kita memberlakukan suatu pakem tertentu, maka lama kelamaan pakem yang semula bersifat relatif flexibel, lalu berubah menjadi sangat rigid dan sukar menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman. Sikap fanatik dan ketidak-tahuan kita tentang bagaimana pakem itu dulu dibangun dan disepakati, juga sangat memungkinkan terjadinya pengubahan sifat suatu pakem menjadi sangat rigid dan kaku.

Tetapi, kembali kepada awal mulanya, karena merupakan suatu kesepakatan bersama, maka tentu saja suatu pakem bisa saja berubah mengikuti jaman, jika dikehendaki dan dibangun suatu kesepakatan bersama yang lebih baru dan mutakhir. Tetapi, sebagai suatu pedoman, pakem yang lebih baru tetaplah harus mengacu kepada sesuatu yang bersifat baik, luhur, bernilai tinggi, bermartabat, dan estetis. Jadi, akan merupakan kasalahan fatal, jika sekelompok orang bersepakat membuat suatu pakem baru, tetapi pakem itu mempunyai sifat yang buruk, rendah (candhala), tidak bernilai tinggi, tidak bermartabat, dan tidak estetis.

Karena di masa lampau suatu wilayah secara geografis dikuasai oleh suatu kerajaan tertentu, maka pakem-pakem itu lalu disesuaikan dengan karakter kerajaan tertentu. Karenanya, lalu kita kenal ada pakem tatahan wayang gagrak Surakarta, pakem tatahan wayang gagrak Yogyakarta, dan sebagainya. Dalam kasus ini, yang dimaksud dengan ‘gagrak’ adalah pola, mahzab, corak, atau gaya. Karenanya, kita misalnya lalu bisa mengatakannya sebagai ‘pakem tatahan wayang gaya Surakarta’, ‘pakem tatah wayang gaya Yogyakarta’, dan seterusnya. Hal yang sama, juga berlaku untuk berbagai pakem lainnya. Misalnya, pakem beksan (tari) gaya Yogyakarta.

Bukti bahwa suatu pakem merupakan kesekapatan bersama yang sebenarnya bersifat cukup luwes (flexible), misalnya adalah saat terjadi perubahan dari wayang beber menjadi wayang kulit purwa (di masa masuk dan berkembangnya agama Islam). Bukankah pada masa itu terbukti telah terjadi perubahan pakem tatahan rupa wayang? Juga terjadi pakem baru yang merupakan pedoman pembuatan gamelan, wayang kulit jenis ‘lama’ menjadi jenis baru seperti yang kita kenal sekarang. Bahkan, di masa sekarang kita mengenal pakem garap gendhing yang semula tidak ada. Misalnya, pakem garap gendhing campur-sari.

Bukti lain, sebelum Ki Narto Sabdho almarhum ‘nekat’ memakai dua gagrak permainan wayang (Surakarta dan Yogyakarta) dalam satu pagelaran wayang kulit purwa, pakem permainan wayang yang dikenal masyarakat di Jawa Tengah umumnya adalah pakem pagelaran wayang kulit purwa bergaya Surakarta dan bergaya Yogyakarta (Mataram). Kedua gaya (gagrak) ini, dulu tidak pernah dipakai secara bersamaan dalam satu pagelaran wayang. Pada masa awal upaya penggabungan itu, saya masih ingat benar, Ki Narto Sabdho dimusuhi banyak orang dan banyak pihak. Dan, hujatan yang dialamatkan kepada beliau saat itu, adalah beliau dinyatakan ‘ngrusak pakem’, ‘nerak pakem’, atau ‘ora pakem’. Namun, setelah beberapa tahun kemudian, ternyata penggabungan kedua gagrak ini telah menghasilkan ‘pakem baru’ permainan wayang kulit purwa. Kita, yang hidup di masa sekarang, ternyata menerima pakem baru itu. Seakan-akan pakem seperti itu merupakan ‘hal biasa’ yang tidak perlu diributkan dan tidak perlu pula diperdebatkan. Jadi, perkembangan dan perubahan pakem menjadi pakem yang lebih baru, ternyata telah berlangsung dan akhirnya diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang baru dan menyenangkan.

Bagaimana suatu pakem baru bisa diterima oleh masyarakat? Tentu hal ini menarik untuk dicermati penyebabnya. Jika kita cermati, maka jawabnya pakem yang baru itu ternyata tetap memenuhi unsur-unsur yang baik, luhur, bernilai tinggi, bermartabat, dan estetis. Dalam kasus ini, saya tetap berpendapat, bahwa hal itulah yang membuat pakem baru itu diterima oleh masyarakat penikmatnya.

Tetapi jangan pula lupa, bahwa pakem yang lebih baru, jika kita salah menerapkannya, bisa saja menghasilkan sesuatu yang bersifat merusak kehidupan dan budaya kita, merendahkan martabat kita, mempunyai nilai estetika yang rendah, dan bisa saja tidak menghasilkan nilai yang luhur. Harus kita ingat pula, sesuatu yang menyenangkan dan akhirnya menjadi suatu kebiasaan, bisa saja menghasilkan sesuatu yang buruk dan sama sekali tidak bernilai, ditinjau dari segi dampaknya. Yaitu, membuat masyarakat menjadi naik tingkat (naik level), atau malah sebaliknya, yaitu turun tingkat (turun level). Kalaupun terjadi hal yang negatif seperti ini, misalnya dihasilkan suatu pakem yang buruk, maka tetaplah hal ini harus dipandang sebagai suatu pakem, karena merupakan kesepakatan bersama.

Seperti yang seringkali saya ungkapkan, apakah pakem baru itu menghasilkan eksploitasi mata-hati (rasa, rohaniah) atau sekedar memuaskan mata-raga (nafsu, jasmaniah) semata? Sudah barang tentu, seperti pegangan awal kita, jika suatu pakem yang baru itu memenuhi unsur yang baik, luhur, bernilai tinggi, bermartabat, dan estetis; maka wajarlah jika pakem baru itu akan cenderung memuaskan mata-hati (rasa, rohaniah) dan bukannya mata-raga yang penuh nafsu semata.

Mudah-mudahan setiap kali kita menemukan adanya pakem yang lebih baru, kita berharap akan bertemu dengan berbagai hal yang baik, luhur, bernilai tinggi, bermartabat, dan estetis. Semoga…..

Salam hangat dan hormat saya untuk anda semua, sahabat-sahabat kinasih saya. Renungkan secara jernih dan bijaksana….

Bram Palgunadi

sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=205761389450117

1 Comment (+add yours?)

  1. Trackback: Seluk Beluk WAYANG « habillawa

Leave a comment