Merenungkan Pagelaran Wayang Kita

Pagelaran wayang, seharusnya tampil sebagai suatu peristiwa imajiner yang terjadi di dalam benak kita, di mata-hati kita; dan bukan sekedar pertunjukan ragawi, yang tampil hanya di mata-raga kita.

Saya menulis karena sejumlah sahabat meminta untuk memberikan gambaran tentang pagelaran wayang. Bolehlah ini disebut opini atau pendapat saya, tetapi sejak awal saya ingin mengatakan bahwa tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang jernih (sekurang-kurangnya begitulah harapan saya). Karenanya, saya juga melengkapi tulisan saya ini dengan sejumlah artikel yang berasal dari catatan saya di facebook serta tulisan dan puisi Mbak Ken Atik yang menurut saya bagus isinya dan sangat dalam maknanya. Tulisan saya dan Mbak Ken Atik, semuanya didasari atas kecintaan kita kepada Ibu Pertiwi dan budaya Nusantara. Masing-masing, ditulis dengan caranya sendiri.

Tulisan saya, secara langsung berisi keprihatinan saya terhadap pagelaran wayang kulit, khususnya wayang kulit Jawa, yang menurut saya memang cenderung mengarah ke pertunjukan mata raga dan bukan ke arah pertunjukan mata hati. Dalam hal ini, yang saya maksud tentulah pagelaran wayang kulit yang dilakukan secara tradisional, dan bukannya yang kontemporer.

Tulisan Mbak Ken Atik, berisi keprihatinan beliau tentang berkurangnya kecintaan terhadap berbagai hal yang berasal dari budaya kita sendiri. Seperti misalnya, pakaian, sanggul, dan tradisi. Sedangkan puisinya, bercerita tentang cinta seseorang yang tak bisa menggapai sesuatu yang dicintainya. Puisi lainnya, bercerita tentang kemarahan hati yang luar biasa, karena kondisi lingkungan dan keadaan.

Saya sengaja menyertakan tiga tulisan dan dua puisi ini, supaya kita semua bisa memahami, bagaimana kita berdua (saya dan Mbak Ken Atik) berpikir dan berpendapat tentang budaya kita, tentang kecintaan kita, dan tentang semua upaya kita dalam rangka mencintai Ibu Pertiwi….

__________________________________________________________

Bagi saya, suatu pagelaran wayang bisa saja dilakukan menurut versi dan keinginan kita masing-masing. Sejumlah sahabat saya, berpendapat bahwa pagelaran wayang tradisional tidaklah boleh dicemari dengan berbagai hal yang bersifat merendahkan atau membuat nilai-nilai yang adiluhung menjadi luntur dan buruk. Saya sendiri juga sepakat dengan pendapat ini. Di lain pihak, suatu pagelaran wayang yang bersifat kontemporer, bisa saja menghadirkan berbagai hal yang sangat ‘tidak tradisional’, sangat asing, baru, atau tidak umum. Menurut saya, hal ini juga boleh-boleh saja.

Bagi saya, kedua hal yang berbeda 180 derajat itu, didasari oleh kecintaan yang sama dan upaya untuk melestarikan budaya. Lepas dari apakah saya setuju atau tidak dengan salah satu dari kedua versi itu, saya tetap berpendapat bahwa keduanya sama-sama berhak untuk dipagelarkan. Masing-masing versi itu, kenyataannya mempunyai komunitas, pendukung, dan penggemarnya.

Dengan pemikiran itulah maka saya dengan sejumlah sahabat yang menjadi panitia Bandung Wayang Festival 2011, berusaha mewadahi semua versi itu, bahkan sampai kepada hal-hal yang mungkin sangat jauh dari bayangan kita tentang pagelaran wayang. Misalnya, mewadahi juga konser band hard rock, underground, atau metal, yang memakai tema wayang. Juga lukisan wayang, kain batik, tekstil, patung, komik, novel, poster, action figure, boneka, puisi, sastra, cerpen, drama, foto, gambar, kartu, keramik, tari, konser, mainan anak-anakm kartun wayang, wayang kardus, horoskop wayang, pawukon, atau sekedar cinderamata. Pokoknya, semua hal yang memakai ‘wayang’ sebagai tema. Wayangnya pun tidak dibatasi, boleh wayang apa saja dan dari mana saja.

Saya dan sejumlah sahabat saya berpendapat, semua hal ini, sebenarnya didasari atas kecintaan kepada wayang. Hanya saja media dan caranya yang berbeda-beda. Kaum remaja dan muda, mungkin lebih suka kepada hal yang bersifat baru, kontemporer, asing, dan mungkin saja sama sekali tidak dikenal di dunia tradisional. Sementara mereka yang sudah menginjak dewasa dan ‘sepuh’, bisa jadi lebih menyukai yang sangat tradisional.

Bagi saya dan sejumlah sahabat yang bergerak di BWF 2011, para pemuda/i dan remaja yang asyik masyuk dengan hal-hal yang baru dan sangat kontemporer itu, tetaplah harus dipandang sebagai bibit awal, yang nantinya juga akan mulai tertarik kepada sesuatu yang bersifat sangat tradisional.

Ingatlah kita bagaimana Bapak Sukasman almarhum (kreator Wayang Ukur), yang semula (saat beliau masih relatif muda) menganggap wayang kulit purwa sebagai produk kuno, ketinggalan jaman, dan sudah tidak cocok dengan kemajuan jaman. Beliau beranggapan, wayang kulit purwa ini harus diperbarui konsep, bentuk, dan rupanya; secara progresif revolusioner. Hasilnya, beliau secara sangat serius dan sepenuh hati (dan kecintaan tentunya) membuat wayang kulit versi baru, yang kemudian kita kenal sebagai ‘Wayang Ukur’. Dalam perjalanan karyanya, setelah sekian tahun kemudian, ternyata beliau baru menyadari dan bahkan mengatakan bahwa apa yang beliau lakukan itu merupakan suatu kesalahan besar (itu kata beliau), sehingga beliau pernah meminta kepada pemilik Wayang Ukur generasi pertama, supaya mengembalikan saja seluruh Wayang Ukur hasil karyanya, jika perlu uangnya (yang sudah diterima beliau) akan dikembalikan lagi. Dan, yang membuat kami semua benar-benar terkejut, adalah beliau berkehendak membakar seluruh wayang ukur hasil karyanya itu! Sebagai catatan, Wayang Ukur generasi pertama itu, sekarang disimpan di PSTK-ITB.

Saya dan sejumlah sahabat yang juga cinta wayang, justru berusaha supaya upaya membakar karya seni itu tidak terjadi. Bagaimanapun juga, Wayang Ukur merupakan salah satu hasil karya wayang yang menurut saya sangat indah. Karena itu pula, kami sangat menghormati Bapak Sukasman sebagai kreatornya. Kalaupun beliau akhirnya menyatakan ketidak-sukaannya secara sangat ekstrim terhadap Wayang Ukur hasil karyanya itu, bagi kami tetap merupakan sebuah karya seni yang sangat indah dan patut dipertahankan keberadaannya.

Mengapa hal ini saya ceritakan kepada anda sahabat-sahabat saya? Karena seseorang yang memandang rendah sesuatu yang sangat tradisional, dan berusaha memperbaiki atau mengembangkannya menjadi sesuatu yang baru (sekurang-kurangnya menurut versinya sendiri), bisa saja akhirnya berkesimpulan seperti Bapak Sukasman itu.

Berpedoman kepada peristiwa itulah, maka seseorang yang membuat kreasi baru, kontemporer, asing, tidak lazim, atau sangat tidak tradisional; suatu kali pastilah akan menyadari bahwa justru sesuatu yang bersifat tradisional itu bisa saja akhirnya disadari sebagai sesuatu yang memiliki filosofi jauh lebih dalam daripada yang dibayangkannya saat pertama kali mengenalnya. Jauh lebih indah dari pada apa yang dilakukannya dan dipandang sebagai suatu ‘pembaharuan’. Pada saat mengawalinya, mungkin saja pembaharuan yang dilakukannya menghasilkan sesuatu yang spektakuler, sangat baru, dan mungkin juga sangat berbeda dengan yang dipikirkan orang lain. Mungkin juga hal ini bisa dipakai untuk menyombongkan diri: “Lu masih mau juga maen wayang kulit purwa yang kuno dan ketinggalan jaman itu?” Atau: “Lu masih pakai teknologi kuno begitu? Liat gue dong, gue kalo maen wayang pake komputer, pake ‘screen’ (layar lebar), pake LCD projector dong, pake animasi dong! Kita sih gak pake lagi ‘blencong’ kaya lu! Kuno lu!” Menurut saya kata-kata semacam ini wajar saja. Bukankah padi sewaktu masih muda memang mengarah ke atas, dan baru merunduk ke bumi setelah menginjak dewasa? Jadi, hal itu merupakan peristiwa yang wajar saja. Perjalanan waktulah yang akan menguji, apakah apa yang dilakukannya itu benar-benar bisa diterima di hati masyarakat dan komunitasnya atau tidak.

Ingat juga, saat Ki Narto Sabdho almarhum melakukan penggabungan dan mencampurkan antara pagelaran wayang gaya Surakarta dengan gaya Mataraman, dan bahkan dengan gaya Banyumasan dan Sunda. Bukankah saat itu beliau juga ‘dimarahi’ dan ‘dihujat’ banyak orang dan banyak pihak yang mengatakan bahwa beliau dipandang melanggar/merusak pakem, melanggar tata-krama, dan melanggar adat-istiadat? Namun, apa yang terjadi setelah beberapa tahun kemudian? Beliau ternyata dinyatakan sebagai dhalang paling populer di Nusantara! Bukankah sekarang hampir semua dhalang terkenal memainkan wayang dengan pola seperti yang ditampilkan Ki Narto Sabdho? Sewaktu awal perjalanan karyanya, bukankah Ki Narto Sabdho dalam pagelaran wayang selalu memakai ‘dhagelan’ bahkan hampir sepanjang pagelaran (sepanjang malam)?

Ingat juga Pak Asep Sunandar Sunarya, seorang dhalang wayang golek Sunda, memakai cara yang sama seperti yang dilakukan Ki Narto Sabdho almarhum. Sepanjang pagelaran penuh ‘dhagelan’. Panakawan, bahkan bisa ditampilkan sejak adegan paling awal! Bukankah beliau berdua itu, awalnya bisa dikatakan melanggar pakem?

Tapi setelah beberapa tahun kemudian, yaitu setelah penonton mulai terbiasa dengan adegan-adegan ajaib, lucu, dan penuh humor itu; kedua dhalang itu (Pak Asep Sunandar Sunarya dan Pak Narto Sabdho), bahkan kembali ke bentuk pedhalangan yang boleh dikatakan sangat tradisional. Apa yang terjadi dengan penontonnya? Mereka semua telah naik tingkat ke level berikutnya yang lebih tinggi, seiring dengan dhalang (pak Asep dan Pak Narto Sabdho) yang selalu membimbing mereka (masyarakat). Pagelaran wayang, yang semula sangat mengeksploitasi mata raga (jasmaniah), sedikit demi sedikit berubah dan kembali menjadi suatu pagelaran wayang yang mengeksploitasi mata hati (rohani, imajinasi).

Seorang Asep Sunandar Sunarya, yang dulu dikenal sebagai dhalang yang ‘merusak pakem’ dengan menampilkan leher wayang golek yang bisa terpotong, tokoh wayang yang saat dipukul dari mulutnya keluar mie, saat dipukul keluar cairan merah (mungkin maksudnya menggambarkan darah), dan pagelaran yang penuh dengan guyonan sepanjang malam; sekarang saya kenal sebagai seorang dhalang yang sangat tradisional. Mungkin anda para sahabat saya tidak memperhatikan, pak Asep Sunandar Sunarya, bahkan sesekali memakai ‘gender barung’ Jawa, untuk mengiringi sulukan-nya. Sekarang, beliau banyak mengekspolitasi tembang, drama, dan cerita. Bukankah sekarang kita mengenal Pak Asep Sunandar Sunarya, sebagai seorang dhalang wayang golek Sunda, yang berhasil mengembalikan pagelaran wayang golek Sunda yang dulunya hanya dikenal sebagai ‘pelengkap penderita’, diubah menjadi pagelaran wayang golek Sunda seutuhnya, dengan dhalang sebagai tokoh sentral.

Sebagai catatan, di sekitar tahun 1970-an, setiap kali kita nonton wayang golek Sunda, yang dicari penonton saat itu adalah sindhennya siapa, jumlahnya berapa, seberapa cantik mereka, umurnya berapa, masih gadis atau sudah janda, dan jam berapa mereka mau menari jaipongan. Saat itu, orang tidak perduli siapa dhalangnya dan apa ceritanya. Pagelaran wayang golek Sunda saat itu, tidak lebih tidak kurang, hanya pengelaran yang mengawali dan mengakhiri pagelaran jaipongan! Seorang Asep Sunandar Sunarya, telah berhasil membawa masyarakatnya, kembali menjadikan sebuah pagelaran wayang golek Sunda sebagai sebuah pagelaran wayang seutuhnya. Bukan pagelaran yang dipotong-potong menjadi pagelaran jaipongan, dan wayang hanya sebagai awal dan penutup. Ia telah benar-benar berperan sebagai gurunya masyarakat.

Cobalah ingat-ingat kembali masa beberapa tahun setelah Ki Narto Sabdho menjadi sangat terkenal. Bukankah beliau mulai mengajarkan kepada kita sejumlah kata-kata sastra, pepatah, nasehat, atau bahkan ‘menghadiahkan’ kepada kita sejumlah karya lagu dan gendhing yang sangat indah? Misalnya: Slendhang Biru. Ingatkah anda semua pada tembang awal ‘bocah bajang….’ yang dinyanyikan sebagai awalan permainan gendhing? Bukankah beliau juga telah berhasil mengubah pandangan masyarakat penontonnya? Ia juga telah menjadi seorang ‘guru’ yang mengajari banyak hal kepada kita.

Jika saya mengingat perjalanan Pak Asep Sunandar Sunarya dan Ki Narto Sabdho almarhum (perjalanan karya keduanya sangat mirip) dan segala upaya dan perjuangannya, lalu saya melihat pagelaran wayang kulit purwa (Jawa) tradisional yang saat ini banyak digelar pada dhalang (bahkan oleh para dhalang terkenal), terus terang saya sering menangis sedih. Pertunjukan pagelaran wayang kulit purwa yang sangat tradisional, dirusak dan direndahkan, dengan menampilkan pelawak, dangdut, campur-sari, dan sebagainya. Pagelaran wayang kulit purwa Jawa tradisional, terlihat begitu mundur, sampai ke titik nadir yang terrendah, persis seperti masa sebelum pak Asep Sunandar Sunarya melakukan ‘revolusi’ di sekitar tahun 1970-an. Begitu pula penonton wayang kita di masa sekarang.

Di sinilah saya memandang pagelaran wayang kulit purwa tradisional, telah berubah kembali menjadi suatu pertunjukan fisik yang sangat mengeksploitasi mata raga dan hura-hura semata. Seakan-akan seluruh penonton dianggap tidak lagi mempunyai kemampuan berimajinasi dan merasakan dengan hati. Pagelaran wayang yang semula merupakan pagelaran imajiner, berubah menjadi suatu pagelaran fisik (jasmaniah).

Sejumlah dhalang bahkan tega memainkan adegan dhagelan Limbuk-Cangkik atau gara-gara selama berjam-jam, sehingga seluruh alur cerita pagelaran menjadi rusak. Beberapa di antara mereka mengatakan, bahwa kalau hanya menampilkan dialog saja, penonton akan bubar! Kalau hal ini yang dipakai sebagai argumentasi, maka saya bisa balik bertanya, bagaimana halnya dengan dialog yang dibawakan oleh Ki Narto Sabdho almarhum saat membawakan cerita ‘Kresna Duta’ atau ‘Kresna Gugah’, yang bisa membuat seluruh penonton tercekam, duduk terpaku diam membisu tak bisa berkata-kata? Padahal dialog itu dilakukan dalam waktu yang cukup lama. Atau, saat Ki Narto Sabdho menceritakan nasib para ksatria Pandhawa yang direndahkan, dilecehkan, dan dihina oleh para Bangsawan Hastina, dalam cerita ‘Pandhawa Ngenger’, yang membuat sebagian besar penonton menangis? Atau, saat Ki Narto Sabdho menceritakan penderitaan batin Prabu Boma Nara Sura, saat dilecehkan oleh permaisurinya (Dewi Hagnyanawati), yang ternyata cintanya bukan kepada dirinya, melainkan kepada adiknya (Raden Samba). Pada adegan ini, hampir semua penonton menangis dan tercekam, seakan-akan cerita itu bukan tentang Prabu Boma Nara Sura, tetapi tentang kehidupan kita, tentang diri kita. Atau, sewaktu Ki Narto Sabdho bercerita tentang gugurnya Resi Bisma yang sangat tragis, gugurnya Kumbakarna sang pahlawan yang membela negara (meskipun ia tahu kakaknya seorang raja yang sangat lalim dan jahat), gugurnya seorang Sukasrana yang terbunuh oleh kakaknya Raden Sumantri(Sukasrana adalah seorang adik yang cacat, buruk muka, dan selalu direndahkan dan dilecehkan, padahal ia merupakan kunci sukses seorang kakak, Raden Sumantri). Atau, saat Dewi Sinta pulang dari Alengka dan bertemu Pabru Rama, tetapi oleh Prabu Rama malah dicurigai telah berselingkuh dan berbagi cinta dengan Rahwana, selama ia diculik. Atau, saat Ki Narto Sabdho menceritakan bagaimana hancurnya harga diri dan kehormatan Dewi Drupadi sebagai seorang wanita, saat ia dilucuti pakaiannya (ditelanjangi), dijamah tubuhnya, direndahkan, dan dihina beramai-ramai oleh para Kurawa.

Bukankah semua adegan-adegan ini, penuh dengan dialog yang relatif memakan waktu lama? Mengapa penonton bisa duduk terpana, tercenung, terdiam, tercekam, menangis, atau sebaliknya bahkan marah? Apa yang sebenarnya terjadi? Menurut saya, para dhalang yang sukses membuat emosi dan perasaan penonton ikut hanyut terbawa bersama cerita yang dibawakan, telah membuktikan bahwa adegan, cerita, atau dialog; jika digarap secara sangat bagus, bisa tidak saja mempertahankan penonton tetap duduk menonton, tetapi juga membuat penonton larut dalam emosi dan perasaan. Menonton wayang, tidak hanya ‘melihat’ adegan semata dengan mata raga, tetapi juga membawa penonton memakai mata hatinya dan menggunakan imajinasinya, sehingga mereka seakan-akan menjadi tokoh yang diceritakan. Penonton menjadi terlibat di dalam cerita, menjadi bagian dari cerita, bahkan menjadi tokoh yang diceritakan. Penonton, bukan lagi ‘orang yang duduk menonton pagelaran wayang’, melainkan telah berubah menjadi tokoh di dalam cerita dan menjadi bagian dari cerita.

Saya sangat memahami, bagaimana perasaan sejumlah sahabat saya, yang menyatakan bahwa pagelaran wayang tidak boleh dicemari dengan berbagai hal yang merendahkan nilai-nilai adi luhung suatu pagelaran wayang. Tetapi saya juga memahami, jika penonton berada pada kondisi yang tidak siap untuk menonton suatu pagelaran wayang yang mengeksploitasi mata hati, dan mereka ternyata hanya menginginkan suatu pagelaran wayang yang mengeksploitasi mata raga (jasmaniah). Menurut saya, di sinilah letak dan peran seorang dhalang sebagai ‘gurunya masyarakat’. Ia, berperan setahap demi setahap menaikkan level pemahaman masyarakat penontonnya, sehingga akhirnya mencapai suatu tingkat yang lebih tinggi, dan akhirnya bisa mencapai pada pemahaman ‘menonton wayang dengan mata hati’, yang bisa menghidupkan cerita, adegan, dialog dalam pagelaran wayang menjadi sebuah pagelaran imajiner di dalam benak penonton, bukan sekedar hura-hura dan melihat pagelaran wayang dengan mata

raga…..

Sebagai penutup, saya ingin mengatakan sebagai berikut.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa semua pagelaran wayang yang bersifat kontemporer selalu mengeksploitasi ‘mata raga’, tetapi harus diakui memang ada kecenderungan yang sangat kuat, bahwa pagelaran wayang kontemporer sebagian besar memang mengarah kepada suatu pagelaran yang sangat mengeksploitasi mata raga (jasmaniah).

Saya tidak hendak mengatakan bahwa semua pagelaran wayang yang bersifat tradisional selalu mengeksploitasi ‘mata hati’ (rohani dan imajinasi), tetapi harus diakui bahwa sebagian besar pagelaran wayang tradisional yang dilakukan pada masa sekarang, memang cenderung mengarah kepada suatu pagelaran yang sangat mengeksploitasi mata raga (jasmaniah).

Tugas kita semua, adalah mengingatkan kepada semua sahabat-sahabat kita, bahwa kedua jenis pagelaran itu, kenyataannya memang ada dan nyata. Jadi, tidak perlu diperdebatkan atau diperselisihkan. Juga tidak perlu membuat kita menjadi sakit hati, kecewa, atau saling menghujat. Suatu pagelaran yang sangat mengekspolitasi mata raga semata, jika secara konsisten dijalankan, dipikirkan, dianalisis, dan dikembangkan; pada suatu waktu nanti dengan sendirinya pasti akan berubah menjadi semakin ‘halus’ dan akan semakin mengarah kepada pertunjukan yang mengeksploitasi mata hati.

Kalaupun kita merupakan pendukung kuat dan fanatik terhadap bentuk pagelaran yang mengeksploitasi mata hati, hal itu tidaklah cukup alasan untuk menjadikan kita lalu berhak menghujat dan menyalahkan pagelaran yang mengeksploitasi mata raga. Mengapa? Karena keduanya, sebenarnya merupakan saudara. Ingatlah masa kecil kita dulu. Kita selalu mulai dari mata raga lebih dahulu, yakni melihat dan menikmati secara jasmaniah. Kemudian, setelah kita semakin tahu, selanjutnya kita lalu mulai berusaha memahami dan merasakannya dengan mata hati.

Bukankah dulu sewaktu kita masih kecil, masih anak-anak, hanya mengenal Tuhan dari kata-kata (misalnya, dari orang tua kita) dan tulisan (misalnya, dari buku)? Apa yang terjadi setelah kita sekarang dewasa? Kita lalu mengenal Tuhan, karena merasakannya di dalam hati, karena kita memakai mata hati kita, dan bukan lagi hanya sekedar kata-kata atau tulisan yang sifatnya terlihat oleh mata raga kita….

Demikianlah sahabat-sahabat kinasih saya, semoga uraian saya bisa membuat kita semua lebih bijak menyikapi berbagai hal yang terjadi di sekitar kita. Salam hangat dan hormat saya untuk anda semua sahabat-sahabat kinasih saya. Maju terus pantang mundur, rawe-rawe rantas, malang-malang putung…..

Bram Palgunadi

________________________________________________________________________________

Pagelaran wayang mengeksploitasi mata-raga atau mata-hati?

oleh Bram Palgunadi pada 04 Desember 2010 jam 22:07

Selama ratusan tahun, wayang telah menjadi bagian dari kehidupan sosial-budaya masyarakat kita. Bahkan sebagian dari kita juga masih memandang wayang dan pagelarannya sebagai sesuatu yang sakral, penuh ritual, dan penuh tata-cara. Namun, pada masa sekarang, peran dan fungsi wayang dan pagelarannya, sudah banyak bergeser menjadi suatu ‘pagelaran hiburan’ semata. Banyak orang yang menyatakan bahwa wayang dan pagelarannya sudah nyaris punah atau sekurang-kurangnya menipis penikmat dan penontonnya. Tidak hanya orang awam yang menyatakannya, beberapa dhalang-pun menyatakan hal yang sama. Sejumlah pernyataan pesimistis, sering terdengar dinyatakan orang tentang wayang dan pagelarannya. “Di media televisi, pagelaran wayang tidak banyak peminat yang bersedia menjadi ‘sponsor’ atau pemasang iklan”. Ini merupakan kalimat ‘klise’ yang paling banyak terdengar dinyatakan oleh ‘orang-orang tv (televisi)’. Jadi jangan harap ada siaran televisi yang bersedia menampilkan pagelaran wayang semalam suntuk misalnya.

Jika kita berjalan-jalan di malam hari yang tenang di suatu kota kecil di wilayah pedalaman, maka telinga kita besar kemungkinan akan bisa mendengar sayup-sayup suara permainan gamelan (klenengan, kliningan, permainan sitar, cokekan, ludruk, kethoprak, macapat, tembang, jaipongan, wayang golek, wayang kulit purwa, atau wayang orang), yang berasal dari suatu pesawat penerima radio yang disetel seorang pedagang atau penjual makanan atau minuman di suatu warung atau lapak dagangan di pinggir jalan. Di sekitarnya, sekelompok orang duduk santai berkeliling, berselimut sarung, saling berbincang, sambil mendengar alunan suara permainan gamelan serta menikmati segelas kopi panas atau makanan kecil. Di kota besar, wilayah pinggiran umumnya juga bisa menampilkan fenomena seperti ini. Mereka itu, umumnya sangat menikmati siaran radio yang menyiarkan suatu kesenian daerah (kesenian tradisional). “Kalau ngeliat tv, kita nggak bisa sambil kerja mas!” Atau, “Kalau ngeliat tv, kita jadi berhenti kerja mas! Kerjaan jadi terganggu!”, begitu ujar mereka. Jadi, pada segmen dan kegiatan masyarakat tertentu, media seperti televisi dipandang tidak tepat untuk dipakai sebagai ‘teman’ saat bekerja atau berkegiatan tertentu.

Di lain pihak, coba kita lihat media elektronika seperti radio misalnya. Secara umum, stasiun-stasiun pemancar radio brodkas bisa dibagi menjadi tiga golongan, yaitu yang bekerja di ban radio gelombang tengah (medium wave, MW), yang bekerja pada ban radio gelombang pendek (short wave, SW), dan yang bekerja di ban radio frekuensi sangat tinggi (very high frequency, VHF). Namun, sebagian besar stasiun pemancar radio brodkas di Indonesia, kecuali RRI (Radio Republik Indonesia), lazimnya hanya bekerja di ban radio gelombang tengah (medium wave, MW) dan di ban radio frekuensi sangat tinggi(very high frequency, VHF). Stasiun pemancar radio brodkas yang bekerja di ban radio gelombang tengah (medium wave, MW), lazimnya bekerja memakai emisi AM (amplitude modulation). Sedangkan stasiun pemancar radio brodkas yang bekerja di ban radio frekuensi sangat tinggi (very high frequency, VHF), lazimnya bekerja memakai emisi FM (frequency modulation).

Jika kita perhatikan baik-baik, sejumlah stasiun pemancar radio brodkas, justru terbukti mengeksploitasi pagelaran wayang untuk mendongkrak pendengarnya. Kebanyakan, mereka merupakan stasiun pemancar radio brodkas yang bekerja pada ban radio gelombang tengah (medium wave, MW) dan memakai emisi AM (amplitude modulation), yang umumnya mudah terganggu derau(noise). Stasiun-stasiun pemancar radio brodkas yang bekerja di ban radio gelombang tengah ini, pada masa sekarang jumlahnya relatif sedikit. Meskipun demikian, sejumlah besar stasiun pemancar radio brodkas milik RRI (Radio Republik Indonesia) dan beberapa stasiun pemancar radio brodkas swasta, ternyata tetap beroperasi pada ban radio gelombang tengah. Salah satu penyebabnya, adalah jarak jangkau pancaran stasiun-stasiun pemancar radio brodkas yang beroperasi di ban radio gelombang tengah ini (pada ban radio frekuensi 0,5 – 1,6 MHz), bisa mencapai jarak ratusan sampai ribuan kilometer, terutama pada saat malam hari dan di musim penghujan. Mereka itu, bisa menjangkau masyarakat pendengar yang sangat jauh dan terpencil lokasinya. Karena jarak jangkau pancarannya yang relatif jauh itu, maka segmen pendengar stasiun pemancar radio brodkas yang beroperasi pada ban radio gelombang tengah ini, kebanyakan adalah masyarakat yang tinggal di wilayah pedalaman, jauh di luar kota.

Meskipun demikian, mereka yang tinggal di dalam kota tentu saja bisa mendengarkan pancaran siarannya. Sementara itu, sejumlah besar stasiun pemancar radio yang bekerja di wilayah perkotaan, terutama kota besar, cenderung beroperasi memakai emisi FM yang ‘bebas derau’ (noise free) dan menghasilkan mutu audio yang nyaris mendekati ‘high fidelity’ (hifi). Tetapi stasiun-stasiun pemancar radio brodkas ini, karena bekerja pada ban radio sangat tinggi (very high frequency, VHF), yakni pada ban radio frekuensi 88 – 108 MHz, maka jarak jangkau pancarannya relatif tidak bisa jauh. Meskipun memakai daya pancar yang relatif tinggi (high power), namun jarak jangkau pancarannya hanya sekitar 30 – 50 kilometer. Itupun pada kondisi ‘line of sight’ (LOS) dan tanpa halangan yang berarti. Adanya gedung-gedung tinggi, bukit, atau gunung; jelas merupakan penghalang (obstacle) yang secara langsung akan memperpendek jarak jangkau pancarannya. Stasiun-stasiun pemancar radio brodkas yang beroperasi pada ban radio frekuensi sangat tinggi ini, cenderung hanya melayani para pendengar yang tinggal di dalam kota dan sekitarnya. Segmen pendengar mereka, juga sangat khas, yakni ‘orang kota’.

Dari bahasan singkat di atas, jelaslah bahwa masyarakat yang tinggal di wilayah pedalaman, tidak bisa dijangkau secara mudah oleh stasiun-stasiun pemancar radio brodkas yang bekerja pada ban radio frekuensi sangat tinggi. Sebaliknya, meskipun mutu audionya seringkali terganggu oleh derau (noise),stasiun-stasiun pemancar radio brodkas yang bekerja pada ban radio gelombang tengah, justru bisa menjangkau secara mudah pendengar-pendengar yang tinggal di wilayah pedalaman yang jauh dari kota. Penjelasan singkat yang sangat teknis ini, tetap tidak bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa stasiun-stasiun radio brodkas yang bekerja pada ban radio gelombang tengah cenderung banyak mengeksploitasi berbagai kesenian tradisional, termasuk pagelaran wayang sebagai tumpuan utama programa siarannya, terutama di malam hari.

Bagaimanapun juga, bahasan tentang penyebab terjadinya perbedaan ‘pelayanan pemenuhan kesenangan’ masyarakat pendengar programa siaran radio, lebih didasarkan kepada adanya perbedaan sosial-budaya, karakter, adat tradisi, dan pranata kehidupan yang hidup di kalangan masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan dan masyarakat yang tinggal di wilayah pedalaman (luar kota).

Secara umum, segmen pendengar pancaran programa siaran radio yang tinggal di kota-kota, sebagian besar bisa dikatakan bersifat ‘tidak terlampau tradisional’, kalau tidak boleh dikatakan ‘berkehidupan modern’. Mereka, merupakan masyarakat yang sehari-hari terbiasa terlibat dengan detak kehidupan kota yang serba cepat, penuh persaingan, serba berteknologi ‘maju’, dilingkupi dengan berbagai hal (benda, produk, situasi, kondisi, dan lingkungan) yang secara umum bisa dikatakan ‘modern’ (bahkan mungkin ‘sangat modern’), yang seringkali berubah peran menjadi pelengkap ‘gaya hidup’ (life style), dengan hubungan sosial antar sesama yang jauh lebih renggang, jauh lebih individualistis, dan seringkali juga bersifat sangat formalistis. Karena karakternya ini, maka hiburan dalam bentuk-bentuk yang merupakan penunjang kehidupan kota menjadi kebutuhan yang terasa penting. Meskipun demikian, masyarakat perkotaan seringkali juga berperilaku mendua. Di satu sisi, mereka penuh dengan kehidupan kota yang modern; tetapi di sisi lain, mereka seringkali juga merindukan kehidupan ‘tradisional’ (yang tidak bisa dialaminya lagi dan bukan merupakan dunia keseharian mereka). Karakter masyarakat perkotaan yang ‘tidak terlampau tradisional’ ini, secara umum memerlukan pemenuhan kebutuhan, termasuk kebutuhan akan hiburan, yang umumnya bisa dikatakan bersifat ‘khas kota’ (modern dan tidak tradisional).

Di lain pihak, segmen pendengar pancaran programa siaran radio yang tinggal di wilayah pedalaman, sebagian besar bisa dikatakan bersifat ‘lebih tradisional’, kalau tidak boleh dikatakan ‘berkehidupan kurang modern’. Mereka, merupakan masyarakat yang terbiasa dengan kehidupan yang detaknya tidak secepat kehidupan di kota (khususnya kota-kota besar). Mereka ini, dalam kesehariannya juga jauh lebih dekat dengan alam dan lingkungan sekitarnya. Meskipun sebagian dari mereka menggunakan juga berbagai benda yang modern, tetapi benda-benda modern ini tidak berubah menjadi pelengkap ‘gaya hidup’ (life style), melainkan lebih sebagai pemenuhan kebutuhan semata. Mereka, juga terbiasa dengan tata kehidupan yang mempunyai hubungan sosial dan kekerabatan antar sesama yang relatif erat. Kehidupannya, juga tidak individualistis, dan seringkali juga berkarakater tidak terlampau formalistis. Dengan demikian, hubungan antar manusia menjadi jauh lebih erat. Karena karakternya ini, maka hiburan dalam bentuk-bentuk yang merupakan penunjang kehidupan tradisional menjadi kebutuhan yang terasa penting. Meskipun demikian, masyarakat tradisional yang tinggal di wilayah pedalaman, seringkali juga berperilaku mendua. Di satu sisi, mereka penuh dengan kehidupan tradisional; tetapi di sisi lain, mereka seringkali juga merindukan kehidupan ‘kota’ (yang bukan merupakan dunia keseharian mereka). Tetapi, kehidupan sehari-hari masyarakat ini, lebih didominasi oleh berbagai kegiatan yang bersifat jauh lebih tradisional. Karakter masyarakat yang tinggal di wilayah pedalaman yang ‘sangat tradisional’, secara umum memerlukan pemenuhan kebutuhan, termasuk kebutuhan akan hiburan, yang umumnya bisa dikatakan juga bersifat ‘tradisional’.

Dari kehidupan yang sangat tradisional inilah, kemudian muncul berbagai kebutuhan akan hiburan yang juga bersifat tradisional. Karenanya, berbagai bentuk kesenian tradisional lebih mudah tumbuh dan berkembang di wilayah pedalaman, dibandingkan dengan di wilayah perkotaan. Berbekal kondisi ini, maka programa siaran radio yang membawa serta ‘sentuhan tradisional’, mempunyai banyak pendengar justru di wilayah pedalaman. Kehidupan dan keseharian yang jauh lebih nyaman, tenang, tidak diburu waktu, ditambah dengan masih suburnya nilai-nilai kekerabatan yang erat; membuat berbagai kegiatan masyarakat yang berlangsung di wilayah pedalaman umumnya lekat dengan nuansa adat tradisi. Sebaliknya, di wilayah perkotaan, sebagian masyarakatnya ternyata juga merindukan kehidupan yang bernuansa tradisional (yang tidak bisa dinikmatinya). Hal ini, juga menjadi penyebab, mengapa sejumlah kegiatan yang berlangsung di wilayah perkotaan, seringkali juga dihubungkan dengan sesuatu yang bernuansa tradisional. Bagi masyarakat yang tinggal di pedalaman, nuansa tradisional menjadi bagian dari keseharian mereka. Sedangkan bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan, nuansa tradisional menjadi mimpi yang selalu dirindukan.

Dari bahasan di atas, jelaslah bahwa berbagai bentuk dan rupa kesenian yang bernuansa tradisional, termasuk pagelaran wayang, seharusnya bisa digunakan untuk memenuhi mimpi masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan dan juga memenuhi kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah pedalaman. Sekarang, pertanyaannya berkembang menjadi ‘apakah pagelaran wayang bisa memenuhi kedua kebutuhan itu?’ Pertanyaan selanjutnya, ‘apakah pagelaran wayang hanya untuk masyarakat yang tinggal di pedalaman saja? Atau, ‘bisa dan mampukah pagelaran wayang memenuhi kebutuhan kedua golongan masyarakat itu?’ Tetapi pertanyaan yang jauh lebih penting adalah ‘apakah pagelaran wayang bisa bertahan dari terpaan berbagai budaya asing dan bisa dikembangkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat?’ Ini merupakan sebagian kecil dari sejumlah besar pertanyaan yang bisa diajukan, serta memerlukan jawaban dan tindakan nyata.

Ringkasnya, jika kita bersepakat bahwa pagelaran wayang masih bisa dipertahankan dan bahkan dikembangkan perannya di dalam kehidupan masyarakat, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara yang seharusnya dilakukan? Dalam hal ini, dhalang sebagai tokoh utama pelaku pagelaran wayang, haruslah mempunyai ‘kreatifitas positif’ yang luar biasa untuk bisa memenangkan persaingan ini. Sekurang-kurangnya untuk suatu segmen, situasi, dan kondisi masyarakat yang tertentu. Dikatakan harus mempunyai ‘kreatifitas positif’, karena nyatanya cukup banyak juga dhalangyang menerapkan ‘kreatifitas negatif’ sebagai jalan pintas untuk memenangkan persaingan dengan banyak media lain.

Seorang dhalang, sebagai seseorang yang memegang peran dan fungsi memberikan pengetahuan dan wawasan kepada masyarakatnya, seharusnya selalu berusaha menaikkan tingkat pemahaman pengetahuan masyarakatnya. Ini merupakan suatu hal yang memang tidak mudah dilaksanakan. Pertama-tama, ia harus bisa menarik perhatian masyarakat.

Selanjutnya, ia harus memikat masyarakat penikmatnya. Lalu, ia harus bisa mempertahankan dan bahkan jika mungkin, memperluas jumlah masyarakat penikmatnya. Dalam upaya melaksanakan upaya pertama inilah terbukti cukup banyak dhalang yang menerapkan ‘kreatifitas negatif’. Upaya kreatifitas negatif ini, seringkali dilakukan dalam bentuk menampilkan sesuatu pagelaran yang merendahkan (dan akhirnya juga melecehkan) kemampuan masyarakat penikmatnya untuk bisa menggunakan kemampuan imajinasinya. Pagelaran wayang, tidak lagi mengeksploitasi imajinasi penontonnya, tetapi menjadi pertunjukan fisik, yang tidak memerlukan kemampuan berimajinasi lagi. Untuk keperluan ini, pagelaran wayang lalu dibantu dengan berbagai peralatan pendukung mutakhir (lampu disko, synthesizer, organ). Hanya untuk menggambarkan panah sang Arjuna yang bisa berubah menjadi ribuan panah yang menakutkan musuh, digunakanlah ‘sound effect’ berupa suara desingan tajam memekakkan telinga, yang dibangkitkan oleh perangkat synthesizer. Ini masih dibantu dengan efek lampu disko, yang memberikan pencahayaan berkedip-kedip gemerlap dan kilat lampu ‘strobolight’ yang menyilaukan mata.Pertunjukan wayang yang semula mengeksploitasi kemampuan berimajinasi penontonnya, lalu berubah menjadi pertunjukan fisik yang hanya memukau mata penontonnya.

Pagelaran wayang, berubah menjadi hanya memukau ‘mata-raga’ dan tidak lagi memukau ‘mata-hati’!

Pada suatu kesempatan (beberapa tahun yang lampau), saya pernah berdiskusi tentang hal ini dengan seorang dhalang terkenal dari Yogyakarta. Saya tanya, mengapa beliau menerapkan ‘kreatifitas negatif’. Beliau menjawab: “Saya harus mempertahankan penonton, supaya tidak pergi meninggalkan pagelaran wayang saya”. Lalu, saya katakan kepada beliau: “Bapak ‘kan seorang dhalang. Dhalang,adalah tokoh sentral dalam pagelaran wayang. Bapak merupakan satu-satunya orang dalam pagelaran wayang yang paling berkuasa. Karenanya, tidak selayaknya Bapak merendahkan diri, martabat, dan kehormatan seorang dhalang dengan membawa serta orang kedua, pelawak, penari, atau bahkan penyanyi dangdut dalam suatu pagelaran wayang. Mereka itu, mempunyai dunia sendiri yang berbeda bentuknya”. Lalu saya lanjutkan,“Dhalang, adalah gurunya masyarakat. Kalau Bapak melakukan hal seperti ini sepuluh sampai dua puluh kali, sekedar untuk mempertahankan penonton supaya tidak meninggalkan pagelaran wayang, maka saya tidak keberatan. Tetapi jika hal seperti ini dilakukan sepanjang hidup, maka menurut saya, Bapak sebaiknya jangan jadi dhalang!” Beliau terperangah mendengar penuturan saya. Lalu beliau bertanya: “Memangnya saya harus bagaimana?” Saya jawab: “Bapak seharusnya berperan sebagai gurunya masyarakat, seperti layaknya seorang dhalang, yaitu‘ngudal piwulang’ (menebarkan ajaran). Dengan demikian, Bapak seharusnya sedikit demi sedikit, setahap demi setahap, berusaha menaikkan dan membimbing pemahaman, pengetahuan, dan wawasan masyarakat penonton pagelaran Bapak. Untuk itulah Bapak harus sangat kreatif, tetapi ke arah yang lebih positif. Hal itu memang sesuatu yang gampang dibicarakan, tetapi sangat sulit dijalankan. Bapak, adalah seorang dhalang, yang sejak awal, belajar dan dibekali berbagai ‘kawruh’(pengetahuan) pedhalangan, dibekali ‘kasantosan’ (keteguhan dan ketegaran), termasuk kreatifitas yang positif dalam olah swara (pengolahan suara), nembang (menyanyi), menguasai gendhing (lagu), sabetan (menggerakkan wayang), janturan (narasi, cerita), antawacana (dialog), mampu melakukanbanyolan (lawakan), menguasai drama, dan mampu mengembangkan alur cerita……..”

Tak terasa, saya nerocos terus, seakan seperti menggurui beliau, yang umurnya jauh lebih tua. Di akhir pembicaraan, kepada beliau saya meminta maaf atas ‘kelancangan’ saya. Tetapi melihatdhalang-dhalang menerapkan ‘kreatifitas negatif’ seperti itu, saya menjadi sangat sedih. Dan, saya tidak tahan untuk tidak mengatakannya. Terus terang, saya sangat rindu, ingin sekali melihat pagelaran wayang yang justru dipandang sangat tradisional, dan tidak ‘dikotori’ dengan penampakan tokoh-tokoh lain selain dhalang. Seorang sahabat saya, suatu ketika berkata dengan nada yang jelas sangat jengkel: “Nonton wayang di jaman sekarang, nggak bisa dinikmati! Mainnya sih bagus, tapi gamelannya terlampau berisik! Saya tidak ingin hanya nonton pagelaran wayangnya saja, tapi juga kepingin mendengar dan bisa menikmati klenengan wayangan yang nyamleng, yang bisa membuat hati saya marem (puas).”

Seperti sahabat saya itu, saya juga ingin menikmati pagelaran wayang seperti layaknya sebuah pagelaran wayang yang bagus dan memikat, yang bisa membuat kita berkhayal, berimajinasi, bermimpi, menangis, merenung, bersedih, dan bisa merasakan tokoh-tokoh wayang yang dimainkan seakan-akan diri kita. Saya juga berharap, dari apa yang diucapkan dhalang selama membawakan ceritanya, mudah-mudahan saya bisa memetik berbagai hal yang bisa membuat diri saya menjadi manusia yang lebih baik, lebih memahami berbagai hal, lebih banyak pengetahuannya, dan juga bisa lebih mengenal bahasa yang dipakai di pedhalangan. Wejangan dhalang seharusnya bisa menyadarkan saya pada etika, moral, pranata dan kehidupan yang lebih baik. Dan, tentu saja saya sebagai anggauta masyarakat, ingin lebih mengenal budaya dan kesenian tradisional kita yang adi luhung.

Bram Palgunadi

2 Comments (+add yours?)

  1. Trackback: habillawa
  2. Trackback: Seluk Beluk WAYANG « habillawa

Leave a comment